Jakarta (ANTARA) - Desainer Indonesia Mel Ahyar kembali meluncurkan koleksi-koleksi terbaru dari jenama miliknya dalam pagelaran busana “Kultulibrasi” yang mengangkat keunikan antargenerasi dan budaya di dalamnya.

Saat ditemui dalam acara konferensi pers dan peragaan busana “Kultulibrasi” di Jakarta, Kamis (10/9), Mel Ahyar mengatakan dirinya tertarik untuk mempelajari sosial serta budaya dari masyarakat. Ia pun mulai menyelami ragam wastra atau kain tradisional khas Nusantara dan merepresentasikan keragaman budaya dalam koleksi fesyen terbarunya.

“Kalau generasi Z melihat wastra itu keren, akhirnya perajin muda (wastra tradisional) mau melestarikannya juga,” kata Mel.

Pagelaran busana “Kultulibrasi” merupakan cara Mel untuk menunjukkan ide-ide kreatifnya melalui fesyen sekaligus menjadi cara untuk melestarikan budaya, khususnya wastra tradisional Indonesia. Menurutnya, seni wastra sendiri sudah mulai ditinggalkan oleh generasi muda.

Baca juga: “Metaphor” cara Sebastian Gunawan terjemahkan hidup dalam kiasan

Generasi muda dari keluarga pengrajin wastra tradisional cenderung enggan melanjutkan pekerjaan dan warisan budaya tersebut karena dianggap tidak adanya peminat dari generasi mereka.

Mel pun menunjukkan celah bahwa pasar wastra tradisional dapat terbuka lebar, asalkan generasi muda tersebut dapat melihat wastra sebagai sesuatu yang spesial dan Mel pun membuktikannya melalui koleksi fesyen buatannya.

Representasi antargenerasi

Menariknya, Mel Ahyar membagi 70-an lebih koleksinya ke dalam tiga tema utama, salah satunya tema “Mel Ahyar Fall/Winter 2023 - 2024”. Koleksi dalam tema tersebut merupakan cara dirinya melihat fenomena dua dimensi dinamika budaya yang senantiasa berkonflik, yakni dimensi horizontal dan dimensi vertikal.

Dimensi horizontal merupakan medan pertemuan antara aspek teknologi, geografi, hingga sosio-ekonomi. Dimensi vertikal sendiri adalah lintas generasi dari Baby Boomers, X, Y/Milenial, dan Z.
Koleksi terbaru dari desainer Mel Ahyar saat diperagakan dalam peragaan busana "Kultulibrasi" di Jakarta, Kamis (10/8/2023). (ANTARA/Vinny Shoffa Salma)

Mel pun mencoba untuk “menggebrak” stigma dan perbedaan yang terjadi menjadi sebuah adaptasi budaya dengan melakukan beberapa kreasi unik dari koleksi fesyen rancangannya.

Baca juga: UNIQLO luncurkan koleksi "Fall & Winter 2023: Modern Layering"

Tema koleksi “Mel Ahyar Fall/Winter 2023 - 2024” dipengaruhi oleh mode fesyen tahun 1940 - 2000an serta pakaian kebaya. Koleksi-koleksi Mel untuk tema tersebut berfokus pada potongan volume yang tegas, geometris, dan asimetris.

Mel juga memadupadankan aneka elemen sebagai detail di koleksi fesyennya yang terinci dari gaya berbagai dekade. Detail yang digunakan dalam koleksi fesyennya, antara lain bunga 3D dari bahan mika, sulaman tangan, sulam usus, tapis, serta efek bunga yang diawetkan.

Paduan tiga wastra Nusantara

Tema kedua yang dihadirkan dalam koleksi terbaru Mel Ahyar berasal dari tiga wastra khas Nusantara, yakni batik gedog Tuban “Onomatope”, tapis Lampung “Mulang Tiuh”, dan Medan “as The Melting Pot”. Ketiganya menghadirkan regenerasi budaya secara berbeda, tetapi dengan gaya khas seorang Mel Ahyar yang unik dan menarik.

Mel pun sudah beberapa tahun terakhir telah berinisiatif untuk mengembangkan wastra Nusantara sebagai sumber daya kreativitas yang selalu terbarukan. Ia pun berkolaborasi langsung dengan para pengrajin maupun asosiasi untuk upaya-upaya pengembangan wastra.

“Mungkin ada angle baru yang bisa men-trigger generasi ke bawah untuk lebih bisa men-diggest, mengolah wastra itu seperti apa,” kata Mel.

Baca juga: UNIQLO siap rilis koleksi Studio Ghibli "Hey, Let's Go!" 21 Agustus

Untuk batik gedog Tuban, karya tersebut merupakan salah satu karya dengan proses pembuatan yang cukup panjang. Mulai dari penanaman kapas hingga berhasil menjadi sebuah kain yang ditenun membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Koleksi terbaru dari desainer Mel Ahyar saat diperagakan dalam peragaan busana "Kultulibrasi" di Jakarta, Kamis (10/8/2023). (ANTARA/Vinny Shoffa Salma)

Sesuai namanya, batik gedog berasal dari kata “dog-dog”, yakni bunyi yang muncul dari alat tenun saat kain mulai ditenun. Butuh waktu sekitar dua bulan hingga kain batik gedog berukuran 3 x 1 meter selesai dibuat.

Mel melakukan modernisasi pada kain batik gedog dengan mengambil “kontras” kain tenun yang tebal dan berstruktur ke dalam desain fesyennya. Ia pun merevolusi warna batik gedog dengan nuansa hologram metalik untuk karyanya.

Selain itu, Mel juga menggunakan teknik tapis untuk karya “Tapis Lampung: Mulang Tiuh” miliknya. Secara khusus, ia membawa pakaian setengah jadi berbahan wol, silk organza, chiffon, dan katun kepada pengrajin kain tapis untuk dikolaborasikan dengan teknik tapis.

Baca juga: Musa Widyatmodjo bawa koleksi Mixturology ke Moskow

Motif tapis untuk koleksinya tersebut berasal dari interpretasi baru dirinya terhadap wastra Nusantara, yakni motif gajah, siger, maritim, dan agrikultur. Teknik tapis tersebut juga dikombinasikan dengan teknik sulam usus khas Lampung yang melengkung-lengkung.

Dua teknik tersebut tampil menonjol dalam koleksi fesyen terbarunya. Ia pun menampilkan warna-warna kekinian dengan nuansa raw, unfiltered, poshlike, dengan detail yang tersembunyi.

Untuk koleksi “Medan as The Melting Pot”, Mel menuangkan warna-warna cerah di dalamnya. Ia juga memadupadankan motif bordir berbentuk bentor (becak motor), Istana Maimun, teratai mandala, dan ikon unik dari kota Medan lainnya.

Dalam koleksi “Medan as The Melting Pot”, Mel ingin memperlihatkan bahwa Medan adalah akulturasi majemuk dari banyak budaya. Bahkan, wastra Medan adalah warna akulturasi dari lima budaya unik yang sebagian besar ada di Medan, yakni budaya Batak, Melayu, Tiongkok, India, dan Arab.

Koleksi Mel Ahyar tersebut mencoba untuk mengakulturasikan kembali berbagai tentun Sumatera Utara, seperti akulturasi elemen kanon Katolik dan arsitektur India-Mughal di Gereja Bunda Maria Annai Velangkanni.

Baca juga: Marks & Spencer luncurkan koleksi denim terbaru untuk segala usia

Koleksi “Rikuriku” angkat ukiran Suku Asmat

Terakhir, koleksi dari jenama pakaian HAPPA dan XY yang berkolaborasi dalam koleksi “Rikuriku”. Meskipun bukan berasal dari koleksi Mel Ahyar, koleksi Rikuriku pun menarik untuk dilihat karena motifnya yang unik.

Rikuriku sendiri terinspirasi dari cerita ukiran khas suku Asmat. Rikuriku tampil dengan membawa passion maskulinitas pria Asmat yang memahat kayu untuk “leave their Mark on earth as a legacy and tribute to the ancestors”.
Koleksi terbaru dari Rikuriku HAPPA dan XY saat diperagakan dalam peragaan busana "Kultulibrasi" di Jakarta, Kamis (10/8/2023). (ANTARA/Vinny Shoffa Salma)
Koleksi tersebut menghadirkan motif kerangka garis-garis flora dan fauna, seperti ukiran kayu. Koleksi Rikuriku mengambil banyak warna “bumi” dan terinspirasi dari lukisan khas Asmat yang menggunakan pewarna alami.

Baca juga: Sajauh Mata Memandang rilis koleksi 'Rimba' terinspirasi hutan Aceh

Baca juga: 'Warna Nusantara' hadirkan koleksi seni rupa bersejarah

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2023