kemampuan mesin bermotor listrik berbasis baterai ketika menerjang ombak besar sama seperti mesin tempel berbahan fosil.
Cilacap (ANTARA) - Sebagai kabupaten terluas di Jawa Tengah dengan luas 2.124,5 kilometer persegi, Cilacap juga memiliki garis pantai terpanjang di provinsi ini yang mencapai 201,9 kilometer.
Dari garis pantai sepanjang itu, sekitar 105 kilometer di antaranya berhadapan langsung dengan Samudra Hindia, sedangkan sisanya sepanjang 96,9 kilometer merupakan garis pantai yang berhadapan dengan Pulau Nusakambangan serta kawasan Segara Anakan.
Oleh karena itulah, dari jumlah penduduk Kabupaten Cilacap yang mencapai 1.963.824 jiwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, sekitar 17.000 orang di antaranya bermata pencaharian sebagai nelayan.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah khususnya untuk menjamin ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) bagi kapal-kapal nelayan di Cilacap, salah satunya melalui Program Solar untuk Koperasi (Solusi) Nelayan yang diinisiasi oleh Kementerian Koperasi dan UKM bersama Kementerian BUMN.
Akan tetapi, Program Solusi Nelayan yang diresmikan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki bersama Menteri BUMN Erick Thohir pada 17 September 2022 dan pengelolaannya dilakukan oleh Koperasi Unit Desa (KUD) Mino Saroyo Cilacap itu belum menjangkau nelayan-nelayan kecil yang menggunakan perahu bermesin tempel dengan BBM jenis Pertalite.
Kendati KUD Mino Saroyo Cilacap saat ini mengelola lima unit Solar Pack Dealer Nelayan (SPDN) atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan (SPBUN), tiga unit di antaranya untuk BBM jenis Solar dan dua unit untuk Pertalite, ada kalanya nelayan harus membeli Pertalite di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) ketika hendak melaut.
Berdasarkan data KUD Mino Saroyo, di sepanjang pesisir selatan Kabupaten Cilacap terdapat sekitar 2.000 kapal nelayan yang menggunakan mesin tempel berbahan bakar Pertalite.
Pemerintah pun sebenarnya mencoba melakukan konversi BBM ke elpiji pada kapal-kapal nelayan bermesin tempel tersebut dengan harapan bisa menekan biaya operasional dan emisi yang dikeluarkan lebih bersih dibandingkan bahan bakar minyak.
Akan tetapi berdasarkan hasil uji coba, kapal nelayan bermesin tempel yang menggunakan elpiji sebagai pengganti Pertalite itu tidak kuat menerjang ombak perairan selatan Kabupaten Cilacap.
Pelaksana Tugas Dinas Perikanan Kabupaten Cilacap Indarto mengatakan dari hasil uji coba, penggunaan elpiji itu lebih cocok untuk kapal-kapal nelayan di perairan darat yang tenang seperti danau dan sungai.
Meskipun demikian, Pemerintah Kabupaten Cilacap terus berupaya mencari solusi untuk mengatasi permasalahan biaya operasional yang sering dihadapi nelayan yang menggunakan perahu berbahan bakar Pertalite.
Hingga akhirnya, Pemkab Cilacap mendapatkan tawaran untuk melakukan uji coba penggunaan mesin kapal bermotor listrik berbasis baterai yang diinisiasi oleh PLN Group.
Bahkan, Cilacap merupakan kabupaten pertama di Jawa Tengah yang melaksanakan program kapal bermotor listrik berbasis baterai yang diluncurkan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pandanarang, Pantai Teluk Penyu, Cilacap, Jumat (11/8).
"Kalau sekarang (11/8) sih ombaknya tenang, namun dua-tiga hari kemarin ombaknya agak kuat, dan hasilnya dapat diterjang oleh kapal bermotor listrik tersebut," kata Indarto.
Dengan hasil uji coba tersebut, kapal bermotor listrik berbasis baterai diketahui mampu menerjang ombak besar di Pantai Teluk Penyu.
Kendati demikian, ada beberapa catatan penting yang diharapkan Dinas Perikanan Kabupaten Cilacap dapat dipenuhi oleh PLN Group selaku pihak yang menginisiasi program kapal bermotor listrik berbasis baterai tersebut.
Dalam hal ini, desain mesin kapal tersebut disesuaikan dengan kondisi nelayan di Indonesia khususnya karena mesin yang digunakan dalam uji coba masih merupakan buatan luar negeri dengan standar nelayan Eropa.
Hal itu menjadi perhatian mengingat kebiasaan nelayan di Cilacap yang selalu membawa pulang mesin perahunya karena khawatir terkena hujan atau hilang dicuri.
Selain itu, Dinas Perikanan Kabupaten Cilacap juga mengharapkan jika mesin kapal bermotor listrik berbasis baterai tersebut sudah sepenuhnya diproduksi di dalam negeri, tingkat komponen dalam negerinya (TKDN) dapat dimaksimalkan agar harga jualnya dapat terjangkau oleh nelayan.
Salah seorang nelayan yang berkesempatan ikut uji coba menggunakan mesin kapal bermotor listrik berbasis baterai dalam lima hari terakhir, Sukirman mengakui harga mesin tersebut sangat tinggi karena mencapai kisaran Rp130 juta per unit.
Sementara untuk dua merek mesin tempel berbahan bakar Pertalite yang selama ini digunakan nelayan Cilacap dan sudah teruji ketangguhannya di perairan selatan Jateng, harganya berada di kisaran Rp30 juta per unit.
Akan tetapi dari sisi biaya operasional, dia mengakui kapal bermotor listrik berbasis baterai itu jauh lebih murah jika dibandingkan mesin tempel yang selama ini digunakan nelayan.
Hal itu diketahui dari biaya yang harus dia keluarkan untuk membeli BBM jenis Pertalite berkisar Rp300 ribu hingga Rp350 ribu sekali melaut.
Sementara dengan mesin bermotor listrik tersebut, dia hanya mengeluarkan biaya untuk mengisi baterai utama dan cadangan sebesar Rp50 ribu.
"Untuk penggunaan baterai yang diisi penuh sampai 100 persen, setelah digunakan selama 1 jam hanya menghabiskan daya sebesar 67 persen," jelasnya.
Dalam hal ini, baterai tersebut hanya digunakan saat mesin dihidupkan untuk berangkat melaut dan pulang ke daratan. Selama di tengah laut untuk menangkap ikan, mesin dalam posisi dimatikan dan hal itu sama seperti menggunakan mesin tempel berbahan bakar fosil.
Bahkan dari sisi tenaga yang dihasilkan, Sukirman mengakui kemampuan mesin bermotor listrik berbasis baterai tersebut ketika menerjang ombak besar sama seperti mesin tempel berbahan fosil.
Bangun ekosistem
Uji coba kapal bermotor listrik berbasis baterai di Cilacap itu bagi PLN Group merupakan bagian dari upaya untuk membangun ekosistem yang terintegrasi dari hulu ke hilir
Direktur Pemasaran dan Pengembangan Bisnis PLN Enjiniring Kurnia Rumdhony mengatakan dalam ekosistem tersebut nantinya akan berkumpul semua pabrikan dari power train ataupun motor listriknya, operator, termasuk juga nelayannya sehingga bisnisnya bisa berjalan dan berkelanjutan.
Menurut dia, ekosistem tersebut melibatkan PT PLN (Persero) yang mendapat tugas dari Presiden Republik Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai, untuk menyiapkan infrastruktur.
Oleh karena itu, pihaknya dalam dua bulan ini akan bekerja keras melakukan uji coba dan mendesain mesin untuk mengetahui tipe kapal yang cocok, kapasitas daya listrik yang cocok untuk kapal, termasuk sistem pengisian baterai yang cocok untuk mesin kapal bermotor listrik tersebut.
Bahkan, desain mesin kapal bermotor listrik berbasis baterai buatan luar negeri yang sekiranya tidak diperlukan oleh nelayan Indonesia khususnya Cilacap juga akan dikurangi, sehingga harga jualnya bisa lebih ditekan dan pemanfaatannya bisa lebih banyak lagi.
Kurnia menargetkan ke depan harga mesin kapal bermotor berbasis baterai itu bisa setara dengan harga mesin tempel berbahan bakar fosil yang selama ini digunakan nelayan setelah dilakukan pengurangan terhadap fitur-fitur yang sekiranya tidak diperlukan dan meningkatkan TKDN-nya.
Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengajak semua pihak ikut membantu dalam ekosistem pengembangan kapal bermotor listrik berbasis baterai sebagai bagian dari transformasi energi menuju energi yang lebih ramah lingkungan.
"Tadi saya sampaikan, 'yuk kita iuran, kita bantu yuk, kita kasih insentif pada nelayan', dari PLN bantu terus kemudian dari perusahaannya bantu, dari pemkab, pemprov, sampai pusat, kita bangun ekosistemnya," tegas Ganjar.
Ia mengakui investasi awal untuk menggunakan mesin kapal bermotor listrik itu tergolong tinggi namun berdasarkan hitungan kasar, diperkirakan membutuhkan waktu hingga 3 tahun untuk bisa menikmati keuntungan dari penggunaan mesin kapal tersebut.
Bahkan ketika dilakukan penghitungan untuk jangka panjang, keuntungan yang didapatkan akan lebih banyak karena biaya operasionalnya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan menggunakan bahan bakar fosil dan bisa mengurangi emisi.
Oleh karena itu, Ganjar mengharapkan layanan purnajualnya menjadi penting agar kemudian bisa dilakukan konversi dari penggunaan bahan bakar fosil menjadi energi listrik yang ramah lingkungan pada kapal nelayan.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Cilacap Sarjono menyatakan dukungannya terhadap rencana penggunaan mesin kapal bermotor listrik berbasis baterai untuk menggantikan mesin tempel berbahan bakar fosil seperti yang digunakan nelayan selama ini.
Selain dapat mengurangi beban pemerintah dalam memberikan subsidi BBM dan mengurangi biaya operasional nelayan, menurut dia, penggunaan energi listrik juga lebih ramah lingkungan karena tidak menimbulkan emisi.
Dengan demikian, jika program kapal bermotor listrik berbasis baterai itu dapat diterapkan untuk seluruh kapal nelayan yang selama ini menggunakan BBM jenis Pertalite, konsumsi terhadap bahan bakar fosil tersebut akan mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Jika mengacu data KUD Mino Saroyo yang menyebutkan jumlah kapal bermesin tempel yang menggunakan Pertalite di Cilacap mencapai kisaran 2.000 unit dan rata-rata membutuhkan BBM sebanyak 20 liter per hari, berarti dalam sehari akan terjadi pengurangan konsumsi Pertalite sebesar 20.000 liter dan emisi yang dikeluarkan ikut berkurang.
Kalau semua itu bisa terjadi, kesejahteraan nelayan pun akan meningkat karena biaya operasional lebih murah, laju perubahan iklim dapat ditekan, dan pencemaran air laut akibat tumpahan BBM maupun oli dari mesin kapal dapat dikurangi, sehingga lingkungan pun ikut terselamatkan oleh kapal bermotor listrik berbasis baterai.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023