Jakarta (ANTARA) - Deputi II Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nyoto Suwignyo mengatakan kemampuan rumah tangga dalam mengelola pangan dengan baik dapat mencegah peningkatan sampah makanan yang berakhir di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
"Proses pembudayaan ini harus dilakukan mulai sekarang, jika tidak, sampah makanan akan selalu bertambah," kata Nyoto kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.
Berdasarkan data Bapanas, Indonesia membuang sampah makanan sekitar 23-48 juta ton per tahun pada periode 2000-2019 atau setara dengan 115-184 kilogram per kapita per tahun. Sementara data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan dari 69,2 juta ton sampah di Indonesia, sebesar 41,2 persen merupakan sampah pangan dengan 38,28 persen bersumber dari rumah tangga.
Menurut Nyoto, food waste (sampah sisa makanan yang sudah diolah) dan food loss (sampah makanan mentah yang tidak bisa diolah) dalam rumah tangga biasanya dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari tidak adanya perencanaan yang baik untuk kebutuhan pangan keluarga, kurangnya penyiapan bahan pangan dalam wadah dengan jumlah yang biasa dikonsumsi. Kemudian, tata simpan makanan yang kurang sesuai dengan jenis dan karakteristiknya juga menjadi penyebab sampah makanan.
"Contohnya, kentang dan bawang tidak perlu disimpan di kulkas. Lalu, olahan pangan yang masa simpannya lebih pendek seharusnya ditata terlebih dahulu supaya lebih terlihat. Jangan lupa juga cek tanggal kadaluarsa," kata Nyoto.
Baca juga: Ketika pemerintah dan masyarakat bersatu kurangi sampah makanan
Food waste dan food loss di rumah tangga, menurut Nyoto, juga terjadi karena kurangnya kesadaran mengolah kembali makanan yang berlebih menjadi menu baru, kesadaran mendonasikan makanan berlebih kepada yang membutuhkan, serta kurangnya memanfaatkan bagian bahan pangan yang berpotensi terbuang menjadi menu makanan.
Pengkampanye Polusi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Abdul Ghofar saat dihubungi secara terpisah mengatakan sampah makanan yang tertangani sejak di tingkat rumah tangga dapat memperpanjang masa pakai TPA.
Dia menuturkan saat ini beberapa TPA kelebihan kapasitas karena tingginya jumlah sampah makanan yang berakhir di sana. Di Jakarta, misalnya, jumlah sampah organik yang masuk ke TPA per hari bisa mencapai 50 persen atau 3.700 hingga 4.000 ton dari total sampah secara keseluruhan, yang mencapai 7.500 hingga 8.000 ton.
"Kalau sampah organik termasuk sisa makanan bisa diolah sejak di rumah tangga, tentu masa pakai TPA bisa diperpanjang," ujar Ghofar.
Dia juga mengatakan pelepasan emisi gas rumah kaca yang berkontribusi pada perubahan iklim pun dapat lebih ditekan jika sampah makanan tertangani.
"Ketika sampah organik termasuk sisa makanan bisa ditangani agar tidak masuk TPA, potensi pelepasan gas rumah kaca bisa dikurangi secara signifikan," kata Ghofar.
Salah satu upaya untuk mengelola sampah makanan di rumah tangga, menurut Ghofar, adalah mengolahnya menjadi kompos dengan memanfaatkan lubang biopori. Jika rumah tangga tidak bisa melakukannya secara mandiri, maka RT atau RW dapat mengupayakan pengelolaan sampah secara komunal misalnya dengan membuat rumah kompos atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
Pemerintah melalui Bapanas telah memiliki berbagai program untuk mengurangi food waste dan food loss, salah satunya bekerja sama dengan lintas kementerian dan lembaga, termasuk pimpinan daerah, dinas pangan, pelaku usaha, hingga penggerak PKK dalam Gerakan Selamatkan Pangan.
Sejak Desember 2022 hingga pertengahan Mei 2023, sebanyak 41,5 ton pangan berhasil diselamatkan di wilayah Jabodetabek yang merupakan proyek percontohan gerakan tersebut.
Baca juga: Berhenti menjadi penyampah makanan
Baca juga: Bapanas perluas Gerakan Selamatkan Pangan usai sukses di Jabodetabek
Baca juga: Bapanas ajak masyarakat amankan pangan dengan tekan "food waste"
Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2023