Papuasia sebagai salah satu kawasan tropis Indonesia yang terletak di bagian Barat Pulau New Guinea memiliki keragaman flora tertinggi di dunia.Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menekankan perlunya penyelamatan flora yang tumbuh di Pulau Papua melalui upaya konservasi in-situ atau ek-situ agar tidak punah.
"International Union for Conservation of Nature (IUCN) sudah mencatat ada sedikitnya 470 jenis flora terancam punah dan satu spesies dinyatakan punah, yaitu Manilkara napali van Royen," kata peneliti Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan BRIN Krisma Lekitoo dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Krisma menuturkan sudah ada beberapa kebun raya dan arboretum di Papua. Namun, jumlah itu masih sangat terbatas bila dibandingkan dengan jumlah flora yang harus diselamatkan melalui upaya konservasi.
Papuasia sebagai salah satu kawasan tropis Indonesia yang terletak di bagian Barat Pulau New Guinea memiliki keragaman flora tertinggi di dunia.
Berdasarkan data Camara-Leret (2020), kawasan yang kerap disebut Tanah Papua itu memiliki kekayaan flora sekitar 13.634 spesies.
Kekayaan flora dengan tingkat endemisitas yang tinggi merupakan tantangan sekaligus peluang dalam mengonservasi serta pengembangan risetnya.
Apalagi, sebagian besar masyarakat lokal Papua yang kehidupannya masih sangat bergantung pada alam. Oleh karena itu, keberadaan beragam spesies tumbuhan harus diselamatkan agar tidak punah supaya diketahui jenis dan manfaatnya.
Krisma menjelaskan keragaman flora di Papuasia yang tinggi disebabkan sejarah geologi pembentukan Pulau Papua yang rumit.
Jumlah lempengan tektonik di Pulau Papua (New Guinea) sebanyak 32 lempengan, di mana setiap lempengan memiliki karakteristik khusus yang memengaruhi jenis flora yang tumbuh di atasnya.
Keragaman flora yang tinggi dibarengi dengan tingkat endemisitas tinggi pula, yaitu 1.030 spesies atau sekitar 68 persen.
Berdasarkan data inventarisasi serta pemanfaatan flora secara tradisional turun-temurun oleh 276 suku di Papua, melalui kajian etnobotani BRIN di beberapa wilayah, tercatat 225 jenis untuk bahan pangan, 115 jenis untuk ritual dan magis, 39 jenis bahan pembuat perahu, 25 jenis untuk obat malaria, dan 57 jenis sebagai bahan obat diare.
Namun, informasi kajian etnobotani yang kaya itu belum menjadi perhatian serius pemerintah.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Papua Agustinus Murdjoko mencatat masih terbatasnya spesimen herbarium yang berasal dari kawasan Papuasia.
"Koleksi herbarium kami masih terbatas jika dibandingkan daerah lain di Indonesia. Padahal, keragaman floranya sangat tinggi", kata Murdjoko.
Beberapa kondisi yang menjadi tantangan penelitian flora, seperti aksesibilitas dan biaya ekspedisi yang terbatas, jumlah dan kualitas peneliti yang masih sedikit, terutama para taksonom.
Murdjoko melihat peluang untuk tetap melakukan penelitian lapangan dan pengumpulan data untuk menghasilkan publikasi internasional.
Menurutnya, kemajuan teknologi informasi sangat mendukung upaya pengumpulan data dan kajian potensi flora Papuasia.
"Kami dapat terkoneksi dengan komunitas global, sehingga kekayaan flora kita dapat diketahui dan menjadi potensi kerja sama dengan berbagai pihak di dunia," pungkas Murdjoko.
Baca juga: Penemuan anggrek jenis baru di Raja Ampat diungkap tim penelitiBaca juga: KLHK: Tanaman endemik dan spesies asli ditanam di area IKN
Baca juga: Mengenal empat tanaman endemik Indonesia
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2023