Mataram (ANTARA) - Kementerian Ketenagakerjaan meminta pemerintah daerah baik provinsi dan kabupaten/kota di Nusa Tenggara Barat untuk menutup celah penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal atau non prosedural
"Perlu ada upaya preventif sedini mungkin yang diutamakan dalam menutup celah terjadinya kasus-kasus penempatan non prosedural dan tindak kejahatan lainnya," kata Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Ditjen Binapenta dan PKK) Suhartono pada Sosialisasi Peraturan Perundang-undangan Bidang Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja dalam keterangan tertulis diterima wartawan di Mataram, Selasa.
Ia mengatakan sosialisasi ini dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang sama terkait regulasi dan dasar hukum dalam melaksanakan tugas di bidang Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Perluasan Kesempatan Kerja. Karena saat ini banyak kebijakan ketika pelaksanaan di lapangan belum jelas regulasi-nya, sehingga seringkali menimbulkan celah hukum.
"Contohnya seperti proses pasar kerja, bagaimana tatanan pelaksanaannya dan lembaga mana yang boleh melaksanakan. Jika hanya menyampaikan informasi pasar kerja, apakah boleh merekrut. Kemudian apakah lembaga pelatihan yang membawa orang untuk mendaftar PMI, melakukan ID dan sebagainya ke di Disnaker sudah sesuai ketentuan. Belum lagi masalah pelaksanaan pelatihan bagi CPMI, apakah sudah sesuai dengan kebutuhan negara penempatan," terang Suhartono.
Ia berharap kegiatan ini bisa menjadi ajang untuk berdiskusi mengenai hal-hal dan masukan penyusunan peraturan undang-undang ke depannya, sehingga bisa dilakukan perbaikan pada sektor ketenagakerjaan.
"Selama tiga tahun ini kita banyak menunggu regulasi dari instansi lain sehingga kita tidak bergerak. Karena itu, agar regulasi itu ada dasar hukum teknis-nya, sehingga dapat menjadi pedoman saat pelaksanaan di lapangan," katanya.
Baca juga: DPR RI bersama BP2MI sosialisasikan peluang kerja aman ke luar negeri
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kadisnakertrans) NTB, I Gede Putu Aryadi menyebut masih banyaknya kasus penempatan PMI non prosedural sebagian dipengaruhi oleh masih kuatnya pemikiran lama dari implementasi regulasi sebelumnya.
Contohnya pelaksanaan UU nomor 18 tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang masih belum lepas dari bayang-bayang UU nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Peralihan pemikiran dari UU nomor 39/2004 ke UU nomor 18/2017 belum sepenuhnya karena masih banyak P3MI masih menggunakan UU 39.
Dulunya memang rekrutmen CPMI dilakukan oleh PL seperti yang diatur pada UU nomor 39/2004, sehingga peran Dinas sangat sedikit. Namun dengan berlakunya UU nomor 18/2017, maka proses rekrutmen saat ini berlangsung di kabupaten/kota sehingga tidak ada lagi istilah PL.
"Saat ini PL harus dari pegawai P3MI. Tapi kebanyakan PL ini tidak punya perusahaan. Jadi mereka menjebak warga dengan memberikan informasi tidak utuh atau sekedar iming-iming dan janji-janji manis yang seringkali tidak sesuai kenyataan agar masyarakat tergiur berangkat secara ilegal. Inilah yang perlu kita berantas," ujar Aryadi.
Sesuai dengan UU nomor 18/2017, peran pejabat pengantar kerja dinas untuk membina petugas antar kerja di perusahaan agar memberikan informasi yang benar dan edukasi bagi pencari kerja supaya sesuai prosedur bila ingin bekerja ke luar negeri. Hal ini sebagai upaya pemerintah dalam mengurangi jumlah penempatan un prosedural dan tindakan preventif TPPO.
"Pemerintah hadir untuk memberikan perlindungan, menjamin kepastian hukum, dan menjalin hubungan baik," tegasnya.
Aryadi mengungkapkan saat ini sedang gencar penindakan terhadap kasus Tindak Pidana Penjualan Orang (TPPO). Sepanjang tahun 2022 ada 752 di Indonesia, khusus di NTB ada 4 kasus yang mencuat dan kasusnya sedang diproses hukum. Modus TPPO paling banyak, yaitu para calo/tekong mengiming-iming CPMI tempat kerja, pekerjaan dan gaji yang bagus tanpa perlu pengurusan dokumen.
"Saat ini kami sedang menghadapi 23 kasus dengan jumlah tersangka mencapai 38 orang. Kasus terbaru, PMI non-prosedural penempatan di Libya yang telah kami pulangkan, ternyata ketika berangkat menggunakan identitas orang lain," terang Aryadi.
Hal ini tentu harus menjadi perhatian dan urgensi bersama untuk dapat melakukan berbagai upaya dan strategi pencegahan dan penanganan TPPO. Oleh karena itu, sesuai perintah Presiden RI, pemerintah melakukan tindakan preventif yang dimulai sejak dari hulu, yaitu di tingkat desa.
"Mulai saat ini kita harus lebih gencar melakukan upaya preventif. Mulai dari proses edukasi, penyampaian informasi dan rekrutmen tenaga kerja. Di sinilah fungsi utama pejabat pengantar kerja. Sebagai pioner atau garda terdepan bagi masyarakat untuk mengakses informasi lapangan pekerjaan agar tidak terjebak dengan informasi yang salah," katanya.
Baca juga: Kepala BP2MI: Kawan dan Perwira PMI garda depan lawan sindikat ilegal
Pewarta: Nur Imansyah
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023