Banyak yang masih terjebak cara berpikir kontinental dalam memandang kelautan.

Kabupaten Bogor (ANTARA) - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa menganggap rencana pembangunan kemaritiman sebagai bagian dari sasaran utama dalam visi Indonesia Emas 2045 masih disusun menggunakan cara berpikir kontinental.

“Meskipun ini adalah sasaran utama yang akan kita capai, tapi saya akan mulai dengan sebuah kritik bahwa ini sebuah otokritik saya (bahwa pembangunan kemaritiman dalam visi Indonesia Emas 2045 masih disusun menggunakan cara berpikir kontinental),” kata dia dalam Seminar Penguatan Tata Kelola Kelautan Berkelanjutan dan Berkeadilan dalam Rencana Pembangunan Nasional, di Gedung Bappenas, Jakarta, Selasa.

Dalam visi Indonesia Emas 2045, salah satu capaian yang diharapkan dalam pembangunan kemaritiman adalah meningkatkan peranan ekonomi maritim sebesar 12,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada tahun 2045.

Untuk meningkatkan peranan ekonomi maritim tersebut, terdapat tiga fokus target yang hendak dicapai. Mulai dari pembangunan konektivitas laut yang efisien dan efektif, lalu industrialisasi perikanan yang berkelanjutan dan berdaya saing, serta pariwisata bahari yang inklusif.

“Kalau kita lihat semua ini, the way of thinking-nya, basically ini masih kontinen. Buat saya itu masih kontinen karena kita kayak mau bangun jalan tol di laut sebagai bagian dari transportasi logistik kita. That's fine, itu benar-benar perlukan, ini gak salah, tapi sebenarnya ada yang lebih dari itu yang kita bisa lakukan,” ujarnya pula.

Menimbang hal tersebut, dalam seminar ini diharapkan ada diskusi dan perdebatan terkait pembangunan kemaritiman yang berlandaskan cara pandang maritim.

“Ini (rencana pembangunan kemaritiman dalam visi Indonesia Emas 2045) perlu mendapatkan kritikan, this is our problem statement. Silakan dikritik untuk didiskusikan,” ujar Suharso Monoarfa.

Dia mengatakan banyak yang masih terjebak cara berpikir kontinental dalam memandang kelautan.

Presiden Soekarno, kata dia lagi, memandang Indonesia sebagai negara kelautan yang berarti tidak melihat pulau-pulau di Tanah Air dipisahkan oleh laut, tetapi disatukan oleh laut. Cara pandangan seperti itu diangkat oleh Perdana Menteri Indonesia Djoeanda Kartawidjaja pada periode 1957-1959 dalam bentuk kebijakan pada masa Pemerintahan Soekarno.

“Masalahnya hari ini adalah seakan-akan kita itu disorientasi. Memang ada gagasan, ada gagasan kelautan yang luar biasa, tetapi pendekatannya pun kalau kita lihat dari beberapa instrumen kebijakan itu mendekati laut itu dengan pandangan darat,” katanya pula.

Misalnya, kata dia lagi, cara pandang kontinental memandang laut sebagai sumber memperoleh ikan hanya untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. Tidak ada pertanyaan apakah ikan-ikan di laut boleh diambil atau dipancing.

Dia menceritakan dirinya menonton sebuah video Youtube dari warga Denmark yang keliling Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Youtuber tersebut menunjukkan sekumpulan anak-anak dan generasi muda yang mancing sembarangan di sekitar pesisir laut Pulau Maratua, Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.

Menurut Menteri PPN, contoh perilaku di pesisir laut Pulau Maratua merupakan cara pandang kontinental yang masih dimiliki sebagian penduduk Indonesia, sehingga mengakibatkan gangguan terhadap ekosistem laut Tanah Air.
Baca juga: Poros maritim dunia jangan hanya fokus kepada infrastruktur
Baca juga: Jawa Barat klaim punya potensi kemaritiman besar

Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2023