Tanjungpinang (ANTARA) - Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Jailani, menyerukan jurnalis lebih bijak dalam melihat hasil survei di tahun politik 2024 sebagai bahan pemberitaan media.

Jailani menilai ada kecenderungan saat menghadapi tahun politik, jurnalis terjebak pada survei elektabilitas kelompok atau salah satu kandidat calon/peserta Pemilu.

"Sementara kita sebagai jurnalis, tidak mendalami siapa dibalik, sekaligus yang membiayai survei tersebut," kata Jailani di Tanjungpinang, Selasa.

Tak bisa dipungkiri lembaga survei merupakan sebuah keniscayaan menjelang Pemilu, sebagai salah satu alat yang digunakan untuk memetakan kekuatan politik, dengan mengeluarkan hasil statistik.

Menurut Jailani, tak jarang jurnalis hanya menerima mentah-mentah data survei yang dikeluarkan oleh sejumlah lembaga survei di Tanah Air, padahal di situ bisa saja terselip kepentingan salah satu kelompok atau kandidat calon peserta Pemilu.

Oleh karena itu, penting bagi para jurnalis mencari tahu lebih dalam berkaitan dengan bagaimana teknis survei yang dilakukan, sehingga tidak terjebak terhadap kepentingan politik tertentu.

"Kadang mereka mengakali survei dengan margin error rendah, guna menunjukkan tingkat kepercayaan lebih tinggi akan data sampel yang dihasilkan," ujar Jailani.

Selain itu, Jailani juga meminta jurnalis tetap berpegang kokoh pada kode etik dan profesionalisme dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik menyambut Pemilu 2024.

Ia tak menampik kecenderungan media pada tahun-tahun politik, memunculkan banyak stigma di mata publik, khususnya terhadap jurnalis sebagai pekerja media itu sendiri.

Contoh sederhana, kata dia, ketika media mengutus jurnalis atau wartawan untuk melekat kepada salah satu kandidat calon peserta Pemilu, maka secara tidak langsung muncul bahwa jurnalis tersebut adalah bagian daripada tokoh politik atau partai politik tertentu.

"Ini jadi tantangan pemilik media, terutama redaksi untuk membagi porsi kerja jurnalis yang tidak monoton pada satu kandidat calon saja, agar tidak ada stigma bahwa jurnalis atau media itu adalah bagian dari tokoh politik atau partai politik tertentu," ujar Jailani.

Apalagi, lanjut dia, sebagian besar pemilik modal media di level daerah hingga nasional didominasi tokoh politik, sehingga secara otomatis sudah terpola bahwa kerjanya akan ada intervensi yang mengarah kepada kepentingan politik dari pemilih modal atau medianya.

Namun, terlepas dari kepentingan itu, jurnalis wajib menjaga kode etik, tanggung jawab dan profesionalisme sebagai seorang pekerja media, dengan menyampaikan berita yang adil dan berimbang kepada publik.

Publik pun sudah bisa menilai dari sisi pemberitaan yang ditulis jurnalis, berimbang atau tidak, bahkan secara tidak langsung, masyarakat juga dapat menyimpulkan, media bersangkutan ialah simpatisan kelompok atau kandidat calon pesera Pemilu tertentu.

"Kalau di organisasi AJI sendiri, independensi itu bagian daripada marwah kita sebagai seorang jurnalis, artinya kita tidak berpihak kemana pun dan bertanggung jawab menyampaikan berita yang benar," ucap Jailani.

Jurnalis Harian Batam Pos itu pun sedikit menyinggung bahwa media sah-sah saja memanfaatkan momentum tahun politik untuk menambah profit perusahaan. Misalnya, media membuat profil sosok kandidat calon Pemilu tertentu jelang hari pencoblosan Pemilu 2024.

"Hemat saya, boleh-boleh saja, selama tidak menjatuhkan lawan politik lain, apalagi sampai menebar hoaks, fitnah hingga ujaran kebencian," ucapnya pula.

Pewarta: Ogen
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2023