Jakarta (ANTARA) - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa menyatakan banyak yang masih terjebak cara berpikir kontinental dalam memandang kelautan.
“Terlalu sering atau terjebak kita dalam cara-cara berpikir yang kontinental, daratan, padahal luas laut kita itu luar biasa,” ujar dia dalam Seminar Penguatan Tata Kelola Kelautan Berkelanjutan dan Berkeadilan dalam Rencana Pembangunan Nasional di Gedung Bappenas, Jakarta, Selasa.
Presiden Soekarno, lanjut dia, memandang Indonesia sebagai negara kelautan yang berarti tidak melihat pulau-pulau di tanah air dipisahkan oleh laut, tetapi disatukan oleh laut. Cara pandangan seperti itu diangkat oleh Perdana Menteri Indonesia Djoeanda Kartawidjaja pada periode 1957-1959 dalam bentuk kebijakan pemerintahan Soekarno.
“Masalahnya hari ini adalah seakan-akan kita itu disorientasi. Memang ada gagasan, ada gagasan kelautan yang luar biasa, tetapi pendekatannya pun kalau kita lihat dari beberapa instrumen kebijakan itu mendekati laut itu dengan pandangan darat,” ungkap Kepala Bappenas.
Baca juga: Ekonomi biru dipandang penting buat masa depan keamanan manusia
Misalnya, cara pandang kontinental memandang laut sebagai sumber memperoleh ikan hanya untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. Tidak ada pertanyaan apakah ikan-ikan di laut boleh diambil atau dipancing.
Dia menceritakan dirinya menonton sebuah video Youtube dari warga Denmark yang keliling Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Youtuber tersebut menunjukkan sekumpulan anak-anak dan generasi muda yang mancing sembarangan di sekitar pesisir laut Pulau Maratua, Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
“Itu saya kira satu cara pandang yang sampai hari ini masih dimiliki oleh sebagian penduduk kita. Akibatnya, ya tentu saja ekosistem yang terganggu dan seterusnya,” kata Kepala Bappenas.
Lebih lanjut, Suharso menyampaikan bahwa ada sejumlah danau di Indonesia yang memerlukan penyelamatan atau revitalisasi.
Menteri PPN mengambil contoh Danau Limboto di Gorontalo yang berupaya direvitalisasi dengan kucuran dana hampir mencapai Rp1 triliun.
“(Namun), saya tidak melihat ada perbaikan yang signifikan terhadap danau itu. (Salah satu sungai) yang mengantarkan air ke danau itu mampet sampai hari ini. Jadi (ini dikarenakan) melihatnya (dengan cara pandang orang) darat (kontinental), dan ini berbahaya menurut saya bagi Indonesia ke depan,” ucapnya.
Baca juga: Posisi Indonesia dalam kategori "upper-middle income" harus disyukuri
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2023