Juba (ANTARA) - Bentrokan yang diwarnai kekerasan antara Angkatan Bersenjata Sudan (Sudanese Armed Forces) dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces) di Sudan telah memaksa lebih dari 195.000 orang mengungsi ke Sudan Selatan.

Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), Jumat (4/8), memaparkan bahwa hingga 27 Juli tercatat lebih dari 44.659 rumah tangga telah tiba di Sudan Selatan sejak krisis itu dimulai pada 15 April.

"Dari jumlah kedatangan itu, 91 persen di antaranya merupakan warga Sudan Selatan yang kembali ke negara itu, 7 persen lainnya adalah warga Sudan, dan 2 persen sisanya berasal dari negara lain," kata OCHA dalam pernyataan yang dirilis di Juba, Sudan Selatan.

Pernyataan itu menyebutkan bahwa warga yang kembali terus berdatangan ke daerah asal atau relokasi di Sudan Selatan.

Banyak di antara mereka telah merasakan pengungsian, konflik antarkomunitas, paparan penyakit, tingginya harga barang kebutuhan pokok, kerawanan pangan, kehilangan mata pencarian, dan berbagai bahaya, terutama risiko dampak banjir dari musim hujan.

"Warga yang kembali terus mengalami hambatan dalam pergerakan mereka, termasuk kenaikan tarif bus dan ketidakamanan di sepanjang rute mereka dari Sudan, risiko serangan, pelecehan, dan perampokan oleh kelompok bersenjata," kata OCHA.

Bentrokan antara paramiliter dan tentara Sudah telah menyebabkan begitu banyak orang mengungsi, dengan sekitar 926.841 orang mengungsi ke luar negeri dan total 3,02 juta orang menjadi pengungsi internal, demikian menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi.


Pewarta: Xinhua
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2023