Jakarta (ANTARA) - Beruntung junta Myanmar memiliki Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) karena jika melihat apa yang dihadapi junta Niger yang sama-sama menggulingkan pemerintahan yang terpilih secara demokratis, junta malah diasingkan dan bahkan diancam diperangi oleh organisasi kawasannya sendiri, ECOWAS (Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat)
Tak seperti ASEAN, ECOWAS yang beranggotakan 15 negara Afrika Barat tak memungkiri pilihan sanksi dan intervensi militer terhadap anggota yang dianggap mengancam stabilitas kawasan, termasuk karena merusak tatanan konstitusional lewat kudeta terhadap pemerintahan yang terpilih secara demokratis.
Tak lama setelah militer Niger mengudeta pemerintahan Presiden Mohamed Bazoum, ECOWAS menjatuhkan sanksi kepada junta Niger dan mengultimatum mereka sampai Minggu malam, 6 Agustus 2023, agar memulihkan kekuasaan Bazoum dan tatanan konstitusional di negara berpenduduk 25 juta orang dan seluas 1,27 juta km per segi itu.
Situasi ini berbeda dengan ASEAN yang sabar menyikapi kudeta junta Myanmar terhadap pemerintahan terpilih secara demokratis pimpinan Aung San Suu Kyi. Ini karena ASEAN tak mau mencampurkan konsensus kawasan dengan kedaulatan nasional anggotanya.
ECOWAS tentu memiliki alasannya sendiri untuk tampil beda, dengan mengikat komunitas mereka lewat ketentuan yang membuka jalan bagi intervensi terhadap negara anggota yang dianggap membahayakan stabilitas kawasan.
Mungkin saja ECOWAS sudah bosan dengan seringnya kudeta terjadi di Afrika Barat, padahal kawasan ini berusaha keras menciptakan tatanan demokratis yang menjadi label menarik untuk mengikat kerja sama internasional yang lebih luas, entah Barat atau non-Barat, sehingga kehidupan nasional semakin baik.
Dalam tiga tahun terakhir ini saja, sudah empat kudeta mengguncang Afrika Barat. Selain Niger tahun ini, kudeta juga sudah lebih dulu terjadi di Mali, Guiena, dan Burkina Faso.
Niger sendiri sudah empat kali mengalami kudeta sejak merdeka dari Prancis pada 3 Agustus 1960.
Kudeta pertama terjadi pada 1974, untuk menghasilkan pemerintahan militer hingga 1991.
Sempat menikmati pemerintahan non-junta pada 1991-1996, militer kembali kudeta pada 27 Januari 1966 di bawah pimpinan Kolonel Ibrahim Bare Mainassara, yang lalu memimpin Niger sampai dibunuh di Bandara Niamey pada 9 April 1999.
Mayjen Daouda Malam Wanke kemudian mengambil alih kekuasaan. Dia menyiapkan transisi demokrasi lewat pemilu November 1999 yang dimenangkan Tandja Mamadou.
Mamadou berkuasa sampai 2009, tapi dia ingin memerintah lebih lama lagi. Terjadilah gejolak, karena keinginan Mamadou ditentang kekuatan-kekuatan politik lainnya. Gejolak ini mendorong militer melancarkan kudeta pada Februari 2010 yang kala itu dipimpin oleh Salou Djibo.
Djibo membentuk Dewan Pemulihan Demokrasi yang setahun kemudian menggelar Pemilu 2011 yang dimenangkan Mahamadou Issoufou.
Issoufou terpilih lagi pada 2016, namun mundur menjelang Pemilu 2020, sehingga memberi jalan kepada Mohamed Bazoum yang berasal dari etnis minoritas Arab, untuk memenangkan Pemilu 2020.
Sejak merdeka, Niger terus dihadapkan dengan rentetan pemberontakan. Semasa pemerintahan Issoufou dan Bazoum saja, Niger direcoki kekerasan akibat imbas perang saudara di Libya, perang saudara Mali, gerakan jihadis pimpinan Alqaeda dan ISIS, dan Boko Haram yang sebenarnya beroperasi di Nigeria.
Persoalan keamanan juga yang mendorong junta pimpinan Jenderal Abdourahamane Tchiani melancarkan kudeta 26 Juli 2023.
Semakin gawat
Tchiani menunjuk situasi keamanan yang terus memburuk sebagai dalih menggulingkan pemerintah, terutama berkaitan dengan perang melawan kaum ekstremis berafiliasi kepada Alqaeda dan ISIS.
Tapi data menunjukkan situasi keamanan malah sering memburuk setelah kudeta. Ini terlihat di Mali dan Burkina Faso di mana kekerasan justru meningkat setelah junta merebut kekuasaan. Hal sama bisa terjadi di Niger.
Perkembangan di Niger ini sudah membuat banyak kalangan was-was. Tidak saja Uni Afrika dan ECOWAS, tapi juga PBB, Uni Eropa, Amerika Serikat, Rusia, China, dan Prancis.
Saat bersamaan, muncul tudingan dari Ukraina, bahwa Rusia berada di balik kudeta Niger.
"Ini adalah taktik standar Rusia untuk mengalihkan perhatian, memanfaatkan momentum, dan memperluas konflik,” kata penasihat presiden Ukraina Mykhailo Podolyak, beberapa waktu lalu.
Koneksi Rusia dengan Niger itu tak bisa dikesampingkan, sebagaimana hubungan Niger dengan Prancis dan Amerika Serikat yang melihat Niger penting dalam kaitan keamanan energi dan perang melawan terorisme yang berafiliasi kepada Alqaeda dan ISIS.
Kudeta Niger terjadi setelah kudeta Mali pada 2021 dan Burkina Faso pada 2022, yang penguasanya mendapatkan proteksi keamanan dari tentara bayaran Rusia, Wagner Group. Mali dan Burkina Faso juga yang menentang intervensi ECOWAS di Niger, dan sebaliknya bersumpah akan membantu junta Niger.
Ada kekhawatiran di Barat bahwa junta Niger bakal meniru Mali dan Burkinao Faso, mencari perlindungan dari Wagner Group pimpinan Yevgeny Prigozhin. Prigozhin sendiri sudah menyatakan siap memberikan proteksi keamanan kepada junta Niger.
Kudeta Niger juga berkaitan dengan akses sumber daya energi negara ini, termasuk uranium di mana Niger memasok lima persen kebutuhan uranium dunia.
Uranium Niger sendiri lebih banyak dinikmati Prancis. Niger memasok 20 persen kebutuhan uranium Prancis, yang juga mendapatkan pasokan dari Kazakhstan sebesar 27 persen, dan Uzbekistan 19 persen.
Mungkin saja kudeta ini berkaitan dengan ke mana uranium Niger harus dipasarkan, apalagi ada sentimen anti-Prancis yang luas di Niger dan sejumlah negara Afrika Barat yang rata-rata bekas koloni Prancis, termasuk Mali dan Burkina Faso.
Negara-negara seperti Rusia dan China sendiri tengah aktif menoleh ke Afrika untuk mencari sumber-sumber energinya, termasuk uranium.
Dengan demikian, krisis politik di Niger bukan lagi semata konflik domestik. Lagi pula, Afrika, khususnya negara-negara kaya energi yang vital untuk segelintir negara besar, sudah menjadi medan perebutan pengaruh, khususnya antara Amerika Serikat-Barat dan Rusia-China.
Kini situasi di Niger semakin gawat, setelah junta menolak intervensi asing, termasuk ECOWAS. Sikap mereka didukung oleh Mali dan Burkina Faso yang sama-sama diperintah junta dan kini condong kepada Rusia.
ECOWAS sendiri kerap melakukan intervensi di negara-negara anggotanya, bahkan pemimpin kudeta Niger saat ini, Abdourahamane Tiani, pernah menjadi komandan batalion pasukan penjaga perdamaian ECOWAS di Pantai Gading setelah pemerintah Pantai Gading dan pemberontak sepakat gencatan senjata pada 2003.
Entah kali ini langkah ECOWAS bakal memulihkan situasi atau justru memperburuk keadaan. Jawabannya bisa dilihat setelah Minggu malam esok. Yang jelas, sejumlah negara sudah mengungsikan warganya keluar dari Niger.
Copyright © ANTARA 2023