Yogyakarta (ANTARA News) - Berbagai bentuk kekerasan dan konflik yang terjadi akhir-akhir ini merupakan akibat dari rendahnya empati masyarakat Indonesia, kata Kepala Pusat Studi Kebudayaan (PSK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Aprinus Salam.
"Rendahnya empati itu disebabkan akar kultural Indonesia tidak dilandasi oleh akar kultural yang mapan. Kebanyakan orang tidak lagi mau mencoba untuk memahami perasaan dan memposisikan diri di posisi orang lain," katanya di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, tindak kekerasan terjadi di mana-mana karena kultur empati masyarakat Indonesia saat ini sudah hampir sirna. Tindak kekerasan itu di antaranya peristiwa kerusuhan pembakaran sejumlah gedung publik di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, terkait dengan pilkada.
Selain itu, saat ini masih berkembang sejumlah pernyataan yang banyak digunakan masyarakat yang bersifat diskriminatif seperti mengejek orang lain dengan sebutan pembantu atau pekerjaan kasar lainnya.
"Padahal, dengan pernyataan-pernyataan tersebut justru membangun dan memperbesar perbedaan antarindividu. Salah satu contoh yang bisa memperbesar perbedaan antarindividu itu adalah terkait dengan pendatang," katanya.
Ia mengatakan, masyarakat pendatang masih dianggap berbeda, bukan bagian dari masyarakat di suatu tempat. Padahal jika dilihat kebanyakan adalah masyarakat pendatang, bukan warga asli, hanya baru saja atau sudah lama menetap di tempat itu.
"Hal semacam itu justru memicu timbulnya prasangka-prasangka yang tidak baik dan tentunya tidak membangun kultur empati. Oleh karena itu, hal tersebut harus diminimalisir agar kondisi di masyarakat tetap kondusif," katanya.
Berkaitan dengan hal itu, Pusat Studi Kebudayaan (PSK) UGM berupaya mengambil sejumlah langkah taktis dan strategis untuk ikut membangun suasana yang lebih kondusif.
Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013