... berharap Indonesia tidak sekadar menjadi pasar dan sekadar menjual sumber daya alam yang lama-lama bisa habis... "
Jakarta (ANTARA News) - Meski gelisah terhadap kesiapan Indonesia menghadapi amanat AEC 2015, salah satunya berupa pembentukan pasar dan basis produksi tunggal ASEAN, Hidayat menilai ada sejumlah industri mampu menjadi unggulan menerobos pasar cukup besar di kawasan itu.
"Ada sembilan industri yang memiliki daya saing lebih tinggi dibandingkan negara lain ASEAN," ujarnya.
Sembilan industri itu adalah produk pertanian seperti minyak sawit mentah (CPO), kakao, dan karet; ikan dan produk olahannya; tekstil dan produk tektil (TPT); alas kaki, kulit, dan barang kulit; serta mebel; kemudian makanan dan minuman; pupuk dan petrokimia; mesin dan peralatannya; serta logam dasar, besi, dan baja.
Berbagai produk tersebut, telah diidentifikasi Kementerian Perindustrian melalui Direktorat Jenderal Kerja Sama Industri Internasional (Ditjen KII), akan menjadi ujung tombak Indonesia menembus pasar ASEAN.
Direktur Jenderal KII Kementerian Perindustrian, Agus Tjahajana, mencontohkan, untuk makanan segar termasuk ikan dan produk olehannya, Indonesia hanya kalah bersaing dari Thailand dan Singapura. Sementara produk kayu termasuk mebel, Indonesia hanya kalah dari Thailand.
"Sembilan industri tersebut kami persiapkan menjadi jagoan untuk ofensif masuk pasar ASEAN," ujarnya.
Selain industri yang disiapkan untuk menerobos pasar ekspor ke ASEAN lebih besar lagi, Kementerian Perindustrian mempersiapkan tujuh industri lain sebagai pertahanan Indonesia menghadapi serbuan produk impor dari berbagai negara lain di kawasan itu.
"Untuk pasar dalam negeri, ada tujuh industri yang kami andalkan untuk bisa menghadapi gempuran produk impor," kata Tjahjana. Hal itu, lanjut dia, sangat penting, mengingat sebagian besar atau sekitar 40 persen pasar tunggal ASEAN, berada di Indonesia yang berpenduduk lebih dari 240 juta jiwa.
Tujuh industri tersebut adalah otomotif, elektronik, semen, pakaian jadi (garmen), alas kaki dan sepatu, makanan dan minuman, serta mebel.
Jelas untuk bisa menjadi unggul, diperlukan strategi menyeluruh tentang perindustrian ini, ibarat perang: paham benar kapan harus menyerang dan kapan harus bertahan. Strategi menyerang dan bertahan itu tentu tidak akan berhasil, bila tidak didukung kemampuan pemerintah sebagai pengawas melindungi para pemainnya dari praktek tidak adil.
Oleh karena itu, Kementerian Perindustrian sebagai "pelatih" yang menyiapkan industri bertarung di pasar dalam negeri dan ekspor, jauh-jauh hari sudah memperingatkan kementerian dan instansi lain agar melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap produk impor.
"Kita perlu melindungi produk nasional dari praktek perdagangan tidak adil dan tidak sehat, termasuk penyelundupan, dan aturan negara lain yang bersifat manipulatif," kata Hidayat yang pernah memimpin KADIN Pusat itu.
Terlanjur sudah ditandatangani sebagai bentuk kesepakatan, AEC 2015 tinggal menghitung mundur. Negara-negara lain ASEAN tentu sudah lama bersiap dan tidak akan mengumbar seluruh skenario dan strateginya.
Indonesia juga harus tetap maju karena turut menandatangani bersama sembilan anggota lain ASEAN. Walau digeret kegalauan.
"Kami akan mengintensifkan sosialisasi AEC 2015 ini kepada seluruh pemangku kepentingan industri, sambil meningkatkan kemampuan sumber daya industri, penguatan industri kecil dan menengah, serta terus mengembangkan wirausaha baru yang tangguh," ujarnya.
Pada sisi di depan regulator, kalangan dunia usaha mengakui tidak sepenuhnya siap menghadapi Pasar Tunggal ASEAN. "Sektor yang siap hanya sektor yang terkait padat karya dan sumber daya alam, tapi ini lama-lama bisa habis," kata Ketua Asoasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofyan Wanandi.
Untuk itu, ia mengajak pemerintah bekerja sama dengan dunia usaha agar intensif bekerja keras mempersiapkan kemampuan bersaing dengan memperkuat sarana logistik dan infrastruktur untuk mengurangi biaya ekonomi tinggi, di samping mengembangkan kemampuan bertahan menghadapi serbuan produk impor.
Pada titik ini, dia memiliki kesamaan dengan kolega birokratnya, Hidayat. "Saya berharap Indonesia tidak sekadar menjadi pasar dan sekadar menjual sumber daya alam yang lama-lama bisa habis, tapi kita juga harus bisa menjadi pemain yang memiliki peran penting," ujar Wanandi.
Sekedar ilustrasi, data BPS menyatakan, neraca perdagangan Indonesia dengan ASEAN khususnya untuk nonmigas masih defisit pada 2012. Total ekspor nonmigas nasional ke negara-negara anggota ASEAN mencapai 31,254 miliar dolar AS, sedangkan impor sedikit lebih tinggi yaitu sebesar 31,713 dolar AS.
(R016/Z003)
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2013