ternyata di bawah minyak masih ada minyak.
Pekanbaru, (ANTARA) - Siang itu posisi Matahari hampir tegak lurus dengan tanah dipijak. Namun, siang itu ada peristiwa yang baru dimulai dan akan menjadi sejarah di Indonesia.
Berada di tengah-tengah kebun kelapa sawit, kondisi semakin panas. Apalagi saat ini juga diramal sebagai puncak musim kering di Tanah Air.
Rangka besi berwarna putih menjulang tinggi terlihat di tengah-tengah arena. Deru mesin pengeboran nyaring terdengar di sekitarnya. Sejumlah orang berpakaian keselamatan dengan helm proyek memadati hamparan sekitar 2-3 hektare di Lapangan Gulamo, Desa Sikeladi Hilir, Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, pada akhir Juli lalu.
Tampak sejumlah orang penting di bidang pertambangan minyak. Ada Menteri Energi dan Sumber Data Mineral Republik Indonesia Arifin Tasrif. Tampak juga Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas Dwi Sutjipto, Direktur Utama PT Pertamina Persero, Nicke Widyawanti, Dirut Pertamina Hulu Energi Wiko Migantoro, Dirut PHR Chalid Said Salim, serta Gubernur Riau Syamsuar, dan Kepala SKK Migas Sumbagut Rikky Rahmat Firdaus. Semua berpakaian pekerja lapangan.
Pada waktu itu menjadi sejarah bagi industri minyak dan gas Indonesia karena melakukan pengeboran perdana bukan minyak biasa atau disebut para insinyur dengan migas nonkonvesional (MNK). Seperti namanya, minyak ini disebut tidak biasa karena pencariannya yang dilakukan tidak dengan cara yang biasa.
Mulai dari biaya proyeknya yang tidak sedikit, peralatan operasionalnya yang canggih, hingga lokasi minyaknya yang jauh di dalam perut Bumi. Jadi, ini merupakan minyak dan gas Bumi yang diusahakan dari reservoir tempat terbentuknya minyak dan gas Bumi dengan permeabilitas atau kemampuan bebatuan untuk meloloskan partikel yang rendah (low permeability).
Perbedaan utama eksplorasi migas konvensional dengan nonkonvesional ini terletak pada lokasi minyak di lapisan Bumi. Migas konvensional lebih mudah terlihat karena letaknya tidak terlalu dalam dari permukaan, sedangkan nonkonvesional berada di lapisan yang lebih dalam.
Berbeda dengan migas konvensional, migas ini adalah hidrokarbon yang terperangkap pada batuan induk (shale oil/gas) tempat terbentuknya hidrokarbon atau batuan reservoir klastik berbutir halus dengan permeabilitas rendah. Batuan inilah yang kemudian akan menjadi minyak setelah dipanaskan dengan suhu tinggi.
Fenomena shale oil atau minyak serpih ini dimulai oleh Amerika Serikat belasan tahun belakangan ini. Negara adidaya yang menjadi konsumen minyak terbesar ini menemukannya hingga sempat membuat harga minyak anjlok. Produksinya menjadi tinggi sehingga narasi besar minyak akan segera habis layak dipertanyakan kembali. Karena, ternyata di bawah minyak masih ada minyak.
Namun begitu, untuk mendapatkannya membutuhkan teknologi yang khusus untuk mengambil minyak yang bisa sampai 3 kilometer ke bawah tanah. Di Indonesia, ini kali pertama sehingga benar-benar sebuah sejarah bagi hulu migas Indonesia. Ini merupakan hasil kerja Pertamina Hulu Rokan di Wilayah Kerja atau Blok Rokan sejak alih kelola dari PT Chevron Pasific Indonesia 2 tahun lalu.
Bagi Direktur Utama PHR Chalid Said Salim, pencarian minyak ini untuk meningkatkan produksi secara signifikan. Tak hanya di Lapangan Gulamo, nantinya berlanjut di Lapangan Kelok. Pada pengeboran perdana atau tajak ini pihaknya menargetkan sampai kedalaman 8500 kaki dengan opsi ditambah 1.000 kaki lagi sehingga menjadi 9.500 kaki.
Untuk itu digunakan rig dengan kapasitas yang cukup besar yakni 1.500 tenaga kuda (horsepower). Sebagai perbandingan, biasanya yang digunakan di WK Rokan ini adalah yang 750 HP. Diperlukan juga area wellpad (lokasi eksplorasi) yang cukup luas, lebih kurang 2,5 hektare atau 2,5 kali lebih luas dari wellpad pada umumnya. Pada tahap pengembangan nantinya wellpad ini dapat mengakomodasi sekitar delapan kepala sumur.
Dalam melakukan eksplorasi minyak ini, PHR bekerja sama dengan perusahaan internasional EOG Resources yang berhasil mengupayakan dan mengembangkan MNK di AS. Selain itu juga dikerjakan oleh tim percepatan MNK yang dibentuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk mendapatkan hasil cadangan migas yang lebih besar.
Apresiasi Pertamina Hulu Rokan
Kepala SKK Migas, Dwi Sutjipto menyampaikan pada WK Rokan ini diperkirakan memiliki potensi migas sebesar 1,86 miliar barel minyak dan gas 2,4 triliun kaki kubik gas. Di sini merupakan cekungan bagian dari "Central Sumatera Basin" yang menyimpan lebih besar lagi potensi migas non-konvensional. Jadi apa yang dilakukan ini adalah masih sebagian dari Sentral Sumatera Basin.
Setelah sekian lama perjalanan dilakukan, akhirnya MNK Ini mulai mengukir sejarah sejarah baru. Sumur Gulamo ini diharapkan dapat membuka jalan untuk mengakses migas nonkonvensional. Potensi-potensi yang selama ini menghambat, akhirnya bisa dibuka investor di bidang ini.
Sekarang semua pihak dan investor akan melihat bagaimana perkembangan dari bukan minyak biasa yang ada di Riau. Namun, perjalanan untuk membuka potensi migas nonkonvensional ini masih panjang sehingga semua pemangku kepentingan mendukung kegiatan di WK Rokan ini.
Ia menyampaikan apresiasi kepada Pertamina dan Pertamina Hulu Energi dan khususnya juga PHR. Setelah Chevron dua tahun lalu beralih ke PHR, kegiatannya luar biasa berubah dan masif.
Saat ini pengeboran di PHR sendiri sudah di atas 500-600 sumur selama lebih dari dua tahun tidak ada pengeboran. Maka per bulan PHR itu mengebor 40 sumur sehingga tiap hari itu bisa ada pengeboran perdana. Jadi bisa dirasakan bagaimana pergerakan dan dampak dari PHR kepada daerah dan juga kepada pengusaha-pengusaha kecil di Riau.
"PHR bukan hanya menyetop penurunan, tetapi sudah bisa naik lagi produksinya. Di waktu terakhir ini sudah 162-165.000 barel permukaan hari dan itu nomor satu penghasil minyak terbesar di Indonesia sekarang. Ini membuktikan Pertamina tidak kalah dengan Chevron," sebutnya.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menyampaikan bahwa saat ini Indonesia masih yang mengimpor kurang lebih 1 juta barel minyak dan jumlah ini akan terus meningkat, sedangkan produksi saat ini berkisar 700-800 ribu barel per hari. Maka dari itu negara harus berhitung dan saat ini Indonesia telah memiliki jawabannya.
"Potensi itu harus bisa kita manfaatkan. Kalau kita tidak melakukan apa-apa, kita akan terbebani oleh importasi dan ini menyedot devisa demikian banyak. Kita harus berupaya keras untuk bisa mengurangi ketergantungan importasi. Dengan pertumbuhan yang 6 persen kita bisa bayangkan dalam 10 tahun berapa importasi migas kita kalau kita tidak melakukan apa-apa," ujarnya.
Dalam perjalanan itu ada satu keuntungan yang menjadi dorongan untuk bisa mengurangi ketergantungan migas. Keuntungan itu adalah transisi energi yang meminta untuk mengurangi pemanfaatan energi fosil yang berasal dari cairan dan gas menuju elektrifikasi.
Untuk berpartisipasi di dalam target capaian emisi nol, pengurangan impor, dan peningkatan produksi bisa berjalan seiring. Masih ada potensi migas yang ada di dalam tanah Riau sebanyak 1,86 miliar barel yang bisa membantu, tergantung impor dan transisi energi.
Sumur migas non-konvensional ini adalah momen pertama yang ada di Indonesia. Negeri ini masih memiliki potensi yang cukup besar yang memang harus dieksplorasi demi menjamin keamanan energi untuk masyarakat.
Setelah Gulamo akan ada juga Lapangan Kelok dan keduanya berpotensi mengembangkan 126 sumur dengan potensi 80 juta barel. Dengan demikian akan ada pekerjaan baru yang bisa menggerakkan perekonomian dan membantu Indonesia mengatasi krisis migas.
Eksplorasi migas nonkonvensional tersebut memberi pijakan lebih kuat Indonesia untuk memacu pertumbuhan ekonomi sekaligus memeratakan kesejahteraan rakyat.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023