...Jadi setiap pengapalan, berapa ribu dokumen yang harus dilampirkan? Itu menyulitkan.

Jakarta (ANTARA) - Pelaku industri agro, seperti kelapa sawit, kopi, hingga kakao menyebut, implementasi European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR) akan sangat memberatkan dan merugikan pengusaha dan petani mulai dari syarat dokumen hingga sertifikasi untuk ekspor.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono dalam FoodAgri Insight on Location "Melawan UU Anti-Deforestasi Uni Eropa" yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa, mengatakan pengurusan dokumen untuk kepentingan ekspor akan sangat menyulitkan pengusaha.

"Dalam satu pengapalan, satu vessel (kapal), misalnya 10 ribu ton itu terdiri dari beberapa pabrik kelapa sawit, sehingga berapa dokumen yang masuk kategori atau benchmarking high risk country, itu kita harus due diligence (uji tuntas), itu 9 persen dari barang yang diekspor. Jadi setiap pengapalan, berapa ribu dokumen yang harus dilampirkan? Itu menyulitkan," katanya.

Baca juga: Mendag singgung UE tidak konsisten soal kebijakan atas nama lingkungan

Eddy menyebut dari sisi petani, penerapan EUDR juga akan menyulitkan karena petani diharuskan untuk melampirkan koordinat lahan.

"Untuk petani sawit, apabila 4 hektare, itu hanya dengan peta geografis, artinya mereka foto saja cukup. Tapi kalau lebih dari 4 hektare, mereka harus geolocation. Harus ada koordinat masing-masing. Dan itu menyulitkan sekali untuk petani," katanya.

Di sisi lain, menurut Eddy, tanpa ada bukti-bukti soal legalitas lahan yang bebas deforestasi, sawit petani akan kesulitan untuk diserap oleh perusahaan, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak sosial di kawasan produksi.

"Kalau buah petani tidak tertampung, akhirnya ada gejolak sosial. Bukannya mengentaskan kemiskinan, justru malah tambah kemiskinan," imbuhnya.

Baca juga: Menlu RI bertemu Menlu Prancis bahas kerja sama ekonomi, EUDR dan EUER

Senada, Ketua Departemen Spesialisasi & Industri BPP Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Moelyono Soesilo mengungkapkan penerapan EUDR akan sangat merugikan petani di sektor industri kopi. Terlebih, 98 persen industri kopi dihasilkan oleh petani kopi tradisional.

"Dengan UU ini, ini akan menyebabkan ketidakpastian bagi petani untuk penjualan produk-produknya," katanya.

Moelyono menyebut masalah lain yang dihadapi petani kopi adalah soal sertifikasi. Tidak mungkin beban biaya sertifikasi diberikan kepada para petani kecil yang lahannya rata-rata tidak lebih dari 1 hektare dan produksi kopi robustanya hanya sekitar 1 ton.

"Bagaimana kita bisa menjalankan ini ke petani untuk sertifikasi dan lainnya? Itu akan jadi masalah juga," katanya.

Moelyono juga menilai masalah tidak hanya dihadapi petani kopi di Indonesia tetapi juga para importir kecil di Eropa. Mereka tentunya juga akan dapat beban biaya yang luar biasa besar.

"Jadi akan terpengaruh, semua ekosistem kopi itu sendiri akan terdampak," ujarnya.

Baca juga: Kalbar percepat penyusunan dan implementasi sawit berkelanjutan

Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Kakao Arif Zamroni mengungkapkan ada paradoks antara kebijakan EUDR dengan fakta soal industri cokelat di Indonesia.

Menurut Arif, produksi kakao Indonesia saat ini masih berada di ranking lima besar dunia di tengah minimnya pasokan komoditas tersebut di dunia. Kakao produksi rakyat sendiri telah diolah seluruhnya di dalam negeri oleh perusahaan-perusahaan milik Eropa.

"Jadi kalau bicara dampak, justru yang terdampak sebenarnya mereka (Eropa) sendiri," katanya.

Arif juga mengakui penerapan EUDR akan sangat luar biasa menyulitkan bagi semua pihak mulai dari petani hingga industri kakao.

Namun, menurut dia, poin utama yang perlu ditegaskan adalah bahwa kebijakan antideforestasi yang digaungkan Eropa dengan sejumlah komoditas Indonesia sangat tidak terkait.

Kakao, misalnya, merupakan tanaman sela yang memerlukan pohon penaung untuk bisa hidup.

Arif menilai justru tanaman sela seperti cokelat dan kopi tidak akan menimbulkan pembalakan liar karena kondisi hutan perlu dijaga untuk mempertahankan produktivitasnya.

"Kakao tidak pernah ditanam di hutan walaupun dia tanaman hutan. Sama dengan kopi, cokelat ini tanaman sela dan tanaman kedua setelah tegakan. Artinya, tanaman kakao ini tanaman yang butuh penaung. Kalau disatukan dengan hutan dan dianggap agroforestri, hutan produksi, maka ini bagian dari solusi, bukan deforestasi," ujarnya.

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023