Yangon (ANTARA News) - Korban tewas akibat kekerasan sektarian baru-baru ini di Myanmar meningkat menjadi 43 orang dengan lebih dari 1.300 rumah dan bangunan lain hancur, kata media pemerintah Myanmar pada Sabtu.
Enampuluh delapan orang ditangkap sehubungan dengan kerusuhan Buddha-Muslim itu, yang membuat 11.376 orang kehilangan tempat tinggal, kata suratkabar "Sinar Baru Myanmar".
Secara keseluruhan, 163 kekerasan dilaporkan terjadi di 15 kota, tambahnya. Sebelumnya, jumlah resmi korban tewas adalah 40 orang.
Keadaan tampak tenang sejak Presiden Thein Sein pada Kamis menjanjikan tanggapan keras terhadap yang di balik kekerasan itu, yang dihubungkan dengan "oportunis politik dan ekstremis agama".
Pasukan keamanan melepaskan tembakan peringatan untuk membubarkan perusuh pada Rabu, tapi pemimpin Muslim mengecam pasukan keamanan itu, yang gagal menghentikan serangan tersebut.
Bentrokan itu diduga dipicu perbantahan di toko emas, yang berubah menjadi kerusuhan, namun saksi menyatakan gelombang kekerasan sesudahnya tampak tergalang baik.
Kerusuhan itu merupakan kemelut aliran terburuk sejak kekerasan antara umat Buddha dengan Muslim di negara bagian barat, Rakhine, pada tahun lalu, yang menewaskan sedikit-dikitnya 180 orang dan lebih dari 110.000 lagi mengungsi.
Bentrokan antarmasyarakat menimbulkan tantangan besar pada Thein Shein, yang mendapat pujian dunia bagi usaha perubahannya sejak memangku jabatan dua tahun lalu setelah dua dasawarsa kekuasaan tentara berakhir.
Warga Muslim Myanmar -sebagian besar berasal dari keturunan India, Cina dan Bangladesh- membentuk empat persen dari penduduk Myanmar, yang berjumlah 60 juta jiwa.
Kekerasan berlatar belakang agama kadang-kadang meletus pada waktu lalu di beberapa daerah negara itu, tapi pada umumnya ditindas pada masa kekuasaan tentara.
Di kota Yangon, yang tegang, tapi secara umum tenang, pemuda menyelenggarakan acara "Doa bagi Myanmar" pada Kamis.
Sekitar 100 orang dari berbagai agama menghadiri pertemuan itu, tempat kaos oblong dan stiker dengan tulisan "Jangan ciptakan kerusuhan suku dan agama" dibagikan.
"Kami tidak pernah menghadapi masalah seperti itu selama hidup. Itu benar-benar suasana tidak tenang bagi kami dan kami merasa tidak aman dan ragu-ragu ke mana pun kami pergi," kata penyelenggara, Yet Swe Win.
"Kami harus menghentikan kerusuhan ini," katanya tegas dikutip AFP.
(SYS/B002/F001)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013