Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Kalimantan Timur, Suwarna Abdul Fatah, yang ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan Izin Usaha Perkebunan (IUP) di wilayah kerjanya, mengaku memberikan rekomendasi kepada sebelas perusahaan untuk mendapatkan IUP.
"Saya keluarkan rekomendasi, itu betul. Tetapi, dalam rangka penuhi persyaratan yang dikeluarkan oleh Menhutbun," kata Suwarna, usai diperiksa di Gedung KPK, Jalan Veteran, Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan, sesuai peraturan Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun), setiap perusahaan yang ingin mendapatkan IUP harus menyertakan rekomendasi dari Gubernur. Rekomendasi itu, lanjut dia, dikeluarkannya pada masa jabatan dua Menhutbun, yaitu Muslimin Nasution pada 1999 dan Nurmahmudi Ismail pada 2000.
Suwarna menyatakan, keterlibatannya hanyalah dalam memberikan
rekomendasi tersebut. Ia lantas membantah bahwa Izin Pemanfaatan Kayu (IPK)
dikeluarkannya.
"Kalau IPK, satu
biji pun saya tidak keluarkan. Itu semua murni
Dephutbun," ujarnya.
Suwarna juga menyatakan, tidak tahu apabila 11 perusahaan yang diberikan rekomendasi itu di bawah satu perusahaan, yakni Surya Dumai Grup yang dimiliki oleh Martias.
"Anda bicara tentang Surya Dumai Grup, tidak ada itu. Saya tidak mengerti siapa Martias itu," ujarnya.
Kuasa hukum Suwarna, Sugeng Teguh Santoso, menyebutkan bahwa 11 perusahaan yang diberi rekomendasi oleh Suwarna adalah Marsyam Citra Adiperkasa, Tirta Madu Sawit Jaya, Bulungan Hijau Perkasa, Berau Perkasa Mandiri, Sebuku Sawit Perkasa, Bumi Simanggis, Bulungan Agrojaya, Kaltim Bhakti Sejahtera, Rapenas Bhakti Utama, Bumi Sawit Perkasa dan Borneo Bhakti Sejahtera.
"Perusahaan-perusahaan ini sudah agak lama pemilik-pemiliknya. Dulu, ini dibeli oleh pemilik sekarang dari beberapa orang yang pada zamannya menduduki jabatan penting di pemerintah. Kalau dikatakan ini Surya Dumai Grup, maka tidak terklarifikasi secara hukum," tutur Sugeng.
Sugeng juga memperlihatkan contoh surat pemberian Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang dikeluarkan oleh Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi (PHP) Dephutbun kepada perusahaan-perusahaan tersebut.
IPK itu dikeluarkan Dirjen PHP Dephutbun, Waskito Suryodiprojo, pada 1999 dan Sugeng Widodo pada 2000 kepada 11 perusahaan itu dengan jumlah luas lahan yang berbeda-beda.
Ia menjelaskan, pada prinsipnya setelah rekomendasi dikeluarkan oleh Gubernur, selanjutnya diusulkan kepada Dirjen PHP Dephutbun untuk mendapatkan persetujuan prinsip. Setelah dari Dirjen PHP, diteruskan kepada Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Dephutbun Kaltim untuk mendapatkan ijin secara definitif.
"Yang mengeluarkan ijin itu adalah instansi Dephutbun. Kalau secara hukum, yang diminta tanggungjawab pemegang dan pemberi izin," ujar Sugeng.
Suwarna mengatakan, rekomendasi IUP yang dikeluarkannya untuk 11 perusahaan itu sebagai pelaksanaan program lahan satu juta hektar untuk mengatasi krisis moneter pada 1998.
KPK menetapkan Suwarna sebagai tersangka pada 19 Juni 2006. Kini, ia ditahan di Rumah Tahanan Markas Besar Kepolisian Negara RI (Rutan Mabes Polri). KPK memperkirakan kerugian negara yang dihitung berdasarkan kayu yang ditebang oleh 11 perusahaan yang diberi IPK itu senilai Rp440 miliar.
KPK menyatakan, pembukaan kebun kelapa sawit hanyalah alasan untuk mendapatkan pelepasan kawasan hutan dan izin pemanfaatan kayu di lahan seluas 147.000 hektare.
Pada kenyataannya, KPK menyatakan, hanya tiga persen yang ditanamai kelapa sawit oleh 11 perusahaan itu, serta selebihnya hanya ditelantarkan dan dimanfaatkan kayunya saja.
Suwarna dinyatakan telah melanggar Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 538 Tahun 1999 tentang IPK dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 1999 tentang pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan.
Suwarna dijerat pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
KPK menyatakan, IPK dikeluarkan oleh Suwarna dan diberikan kepada
11 perusahaan yang tergabung dalam Surya Dumai Grup, yang dimiliki
oleh Martias.
IPK yang dikeluarkan itu, menurut KPK, sudah melebihi dan menyalahi kewenangan Suwarna sebagai Gubernur Kalimantan Timur.
KPK yang telah meminta keterangan dari DPRD Kalimantan Timur, juga menyatakan bahwa program lahan satu juta hektar sama sekali tidak pernah ada dan tidak tercantum dalam rencana kerja dan anggaran daerah Kalimantan Timur. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006