Jakarta (ANTARA) - Napoleon Bonaparte tercenung menyaksikan hujan deras pada malam hari yang melanda di dekat Waterloo, 17 Juni 1815, yang mengakibatkan kondisi tanah menjadi sangat becek dan mengganggu pergerakan, baik tentara maupun artileri.

Fenomena alam itu diyakini sejumlah sejarawan membuat Kaisar Prancis itu khawatir lumpur mengganggu laju pasukannya, sehingga dia memutuskan untuk menunggu hingga kondisi jalan kering sebelum melakukan penyerangan.

Nahas, dengan keputusan menunggu itu ternyata membuat sang lawan, pasukan Inggris dan Prusia, dapat menggabungkan kekuatan mereka, dan tinta sejarah mencatat kekalahan fatal Napoleon di Waterloo, 18 Juni 1815.

Tentu saja, hujan lebat pada malam sebelum perang bukan satu-satunya faktor yang mengakibatkan tentara Prancis ditaklukkan kekuatan pasukan koalisi, tetapi sedikit banyak unsur cuaca juga turut berperan.

Pandangan tersebut juga diakui oleh para ilmuwan. Misalnya situs smithsonianmag.com pada artikel tahun 2018 menyebut bahwa kajian ahli menunjukkan bahwa cuaca buruk yang mungkin menyebabkan kekalahan Napoleon dapat ditelusuri kembali beberapa bulan sebelum pertempuran, yaitu pada letusan gunung berapi Tambora di Nusa Tenggara Barat, Indonesia.

Letusan Tambora yang terjadi pada April 1815 memiliki indeks daya ledak vulkanik (VEI) sebesar 7, --dari skala 1 hingga 8--, dan mengeluarkan hingga lebih dari 1,5 juta ton atau sebesar 400 kilometer kubik abu vulkanik ke lapisan atmosfer Bumi.

Akibatnya, selain membantu kekalahan fatal yang mengakhiri karier kemiliteran Kaisar Prancis, letusan Tambora juga mengakibatkan Eropa pada tahun 1816 dikenal sebagai Tahun tanpa Musim Panas karena terjadi penyimpangan iklim di kawasan tersebut hingga ke Amerika timur laut.

Kondisi penyimpangan itu, seperti dikutip dari laman Wikipedia, misalnya membuat terjadinya frost atau embun beku pada Mei 1816 yang mematikan sebagian besar tanaman, serta pada Juni terjadi hingga dua badai salju, dan pada Juli-Agustus terdapat sejumlah danau dan sungai yang membeku dengan es.

Cuaca yang sangat dingin pada musim panas di berbagai belahan dunia itu mengakibatkan gagal panen di beragam tempat, serta merebaknya banyak penyakit.

Lebih dari dua abad kemudian, Bumi juga kembali menderita situasi penyimpangan iklim yang parah, di mana Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres pada Kamis (27/7) menyatakan bahwa saat ini dunia sedang mengalami era pendidihan global.


Bulan terpanas

Guterres mengungkapkan berdasarkan data, antara lain dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), Juli 2023 merupakan bulan terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah umat manusia.

Bahkan, Guterres juga menyatakan bahwa musim panas kali ini adalah "musim panas yang kejam" bagi sebagian besar kawasan Amerika Utara, Asia, Afrika, serta Eropa.

Perkiraan WMO pada awal Juli memperingatkan adanya peluang 90 persen El Nino akan berlanjut pada paruh kedua 2023, yang berpotensi memecahkan rekor suhu dan memicu panas ekstrem di berbagai belahan dunia, termasuk lautan.

Kantor berita Anadolu melaporkan bahwa gelombang panas berbahaya akan terus melanda wilayah Pantai Timur dan dataran tengah Amerika Serikat (AS) selama akhir pekan ini yang memicu Dinas Cuaca Nasional (NWS) mengeluarkan peringatan sengatan panas bagi jutaan orang.

Lebih dari 190 juta orang, atau 60 persen dari populasi AS, diminta mewaspadai sengatan panas atau banjir sejak Kamis (27/7), menurut NWS.

Tidak hanya di AS, Anadolu juga menyebutkan bahwa Meksiko juga terkena dampak parah, dengan suhu melewati 40 derajat Celsius, serta Iran, yang kerap dikenal memiliki musim panas yang terik, mengalami suhu mencapai angka yang mengejutkan di beberapa wilayah, yaitu 50 derajat Celsius.

Sementara itu di Spanyol, suhu mencapai 44 derajat Celsius dan negara itu menghadapi kondisi yang mengkhawatirkan selama Juni, dengan 8 dari 17 pemerintahan otonomi di negara tersebut mengeluarkan peringatan terkait suhu yang meningkat.

Selain itu Pakistan dan India yang juga mengalami dampak yang menghancurkan akibat cuaca panas. Insiden terkait sengatan panas merenggut nyawa 22 orang di Pakistan, sementara lebih dari 150 jiwa meninggal di India. Bahkan China dilaporkan mengalami hari terpanas dalam enam dekade, dengan suhu mencapai 40 derajat Celsius.

Namun, apa kaitannya antara terjadinya era pendidihan global dengan konflik Rusia-Ukraina yang berkobar cepat sejak Rusia melakukan invasi skala penuh ke sejumlah wilayah di Ukraina mulai Februari 2022?


Dampak iklim

Chatham House, sebuah lembaga wadah pemikir nirlaba yang berpusat di Inggris, menyatakan bahwa perang yang dilakukan Rusia di Ukraina memiliki dampak yang melampaui ancaman eksistensial terhadap Ukraina, khususnya terhadap kondisi perubahan iklim.

Dalam artikel bertajuk "How Russia's war on Ukraine is threatening climate security" di laman resminya yang diterbitkan pada 2 Maret 2023, disebutkan bahwa konflik tersebut meningkatkan kerentanan dalam menghadapi perubahan iklim, sehingga memperburuk risiko keamanan iklim.

Konflik Rusia-Ukraina dinilai akan menambah ketegangan di mana kondisi perubahan iklim mengancam keamanan regional.

Selain itu, selama tujuh bulan pertama dari perang tersebut, tercatat bahwa pertempuran di konflik itu mengakibatkan ada sebanyak 100 juta ton karbon dilepaskan ke atmosfer.

Belum lagi bila mengingat adanya insiden sabotase peledakan pipa gas Nord Stream (yang menghubungkan jaringan gas Rusia ke Eropa, dan para pelakunya masih belum jelas siapa hingga saat ini) juga mengakibatkan terjadinya pelepasan gas metana di Laut Baltik.

Pertikaian yang telah berjalan lebih dari satu tahun itu juga telah mengakibatkan terjadinya deforestasi di sepanjang Ukraina, serta merusak sistem energi terbarukan di negara itu, karena sebanyak 90 persen tenaga angin dan 50 persen kapasitas tenaga surya dimatikan sejak perang dimulai.

Wikipedia mengungkapkan bahwa ada lebih dari 12.000 kilometer persegi dari cagar alam Ukraina yang kini berubah menjadi zona perang, sehingga dapat menghilangkan populasi sejumlah spesies endemik dan binatang migran yang biasanya ada di cagar alam itu.


Partikel beracun

Harus diingat pula bahwa kerusakan bangunan fisik akibat perang juga dapat mengakibatkan tersebarnya partikel-partikel yang dapat mengandung unsur beracun dan karsinogen atau dapat mengakibatkan kanker.

Sementara baja berat dan zat kimia yang meresap ke dalam air di bawah tanah dapat mengakibatkan munculnya polusi, sehingga berpotensi meracuni berbagai sumber daya air serta memusnahkan sejumlah elemen kehidupan di dalam air.

Untuk itu, masyarakat internasional juga diharapkan dapat lebih mengawasi dampak dan menggandakan upayanya guna mengatasi dan menghindari meningkatnya risiko keamanan yang timbul akibat dampak perubahan iklim yang mengancam konservasi alam.

Sejumlah pihak, bahkan telah menyatakan bahwa kerusakan lingkungan yang sangat serius dan berjangka panjang di Ukraina akibat serangan Rusia sebagai bentuk ecocide atau ekosida. Makna dari ekosida itu sendiri adalah pemusnahan sumber daya dan ekosistem yang diperlukan dalam kehidupan manusia dengan cara eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam secara masif.

Bumi yang semakin mendidih ini juga pasti akan berdampak kepada kondisi pangan karena menyimpangnya situasi cuaca yang biasanya dipakai para petani dalam menjalankan siklus masa tanam yang lazim mereka tentukan.

Padahal, krisis pangan telah lama dikenal sebagai salah satu pencetus terjadinya konflik bersenjata hingga kerusuhan massal.

Diharapkan dengan berbagai peringatan yang telah disebutkan di atas, juga akan mengetuk hati nurani dari berbagai pihak yang terlibat dalam konflik Rusia-Ukraina untuk dapat menghentikan segera pertikaian berdarah ini, sebelum munculnya dampak perubahan iklim lainnya yang bisa lebih mematikan.


Copyright © ANTARA 2023