Wanita itu duduk termangu di atas reruntuhan bangunan. Tangan kanannya menopang dagu, sorot matanya tampak kosong, dan raut wajahnya terlihat duka yang mendalam. Hartini, warga jalan Andi P Pada, Biring Ngere itu hanya termangu menyaksikan tumpukan atap seng dan kayu bangunan reruntuhan rumahnya yang ambruk disapu banjir. Air matanya juga seolah telah mengering menangisi kepergian untuk selamanya dua orang anaknya dan ibu tercintanya karena terseret banjir yang mengamuk, Selasa (20/6) dini hari saat warga masih tertidur lelap. Rumah Hartini berada di bantaran sungai Biring Ngere, Sinjai, Sulawesi Selatan. Dua anaknya, Imran (12) dan Lany (7) bersama ibunda tercinta Zainab tewas bersama 37 orang warga desa itu. Dengan diselingi sedu-sedan, Hartini menuturkan bahwa ia bersama ibu dan anaknya masih sempat menyelamatkan diri dengan cara memanjat pohon asam di samping rumahnya ketika banjir bercampur lumpur mencapai lantai rumah panggung yang mereka huni. Saat berada di atas pohon itu, ia melihat seekor ular piton besar muncul sehingga ia dan beberapa orang lainnya berpegangan di dahan pohan asam dengan ketakukan. Ular itu tiba-tiba jatuh ke dalam air, bersamaan dengan jatuhnya ibu dan dua anaknya ke dalam arus banjir karena ranting pohon tempat mereka berpegang patah. Ia hanya bisa menjerit dan memanggil-manggil nama anak dan ibunya tanpa bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan mereka dari amukan banjir yang datang dengan suara bergemuruh tersebut. Hartini kemudian baru bisa bertemu orang-orang tercintanya itu dua hari kemudian. Tapi mereka sudah tak bernyawa. Kisah lain dituturkan Hasniah, perempuan yang kehilangan bungsunya Eni. Suami Hasniah, Jumadi, sedang melaut di perairan Flores saat banjir itu menerjang desa mereka. Hasniah mengaku sulit menghubungi keluarganya yang ada di Makassar dan Soppeng. Sehingga dia kini sebatang kara sambil menunggu suami pulang dari melaut. Berkali-kali Hasniah menghubungi nomor milik keluarganya yang ada dua kota tersebut, tapi rupanya memberi tahu melalui saluran telepon yang disediakan secara gratis di Kantor Sabang Telekomunikasi Sinjai itu tak membuahkan hasil. Sementara H Andi Suyuti yang rumahnya juga rusak diterjang banjir mengaku pasrah menerima takdir Ilahi yang tidak bisa terelakkan oleh siapa pun. "Kalau alam murka, tak satupun manusia yang bisa mencegahnya," ujarnya. Banjir yang melanda desanya, menurut pensiunan penilik sekolah pada kantor Dinas Pendidikan Nasional Sinjai itu merupakan bencana banjir terbesar sepajang sejarah di kota itu. Sungai Biring Ngere tahun 2000 pernah meluap, tetapi hanya setinggi lutut di atas jalan. Suyuti berjalan lunglai sambil menenteng radio transistor dua band dan mesin ketik usang yang ia temukan dari endapan lumpur di belakang rumahnya. Kerusakan rumah Suyuti memang tidak separah seperti dialami warga desa Biring Ngere lainnya, tetapi tokoh masyarakat itu sangat berharap pemerintah segera turun tangan memberi bantuan kepada warga korban banjir. Selain bantuan pangan dan obat-obatan, korban minta agar pemerintah segera mengucurkan dana untuk biaya pembangunan kembali rumah warga yang rusak. Kelurahan Biring Ngere, Kecamatan Sinjai Selatan merupakan yang paling parah dilanda banjir bercampur lumpur akibat tanah longsor, setelah sebanyak 36 buah rumah di Jalan Andi Pada rata dengan tanah. Rumah panggung yang berderet dengan apik di kelurahan yang berhasil meraih predikat terbaik itu porak poranda. Tanah tempat rumah berdiri menjadi kosong melompong karena disapu banjir dan sebagian terhempas dan nyangkut di pohon kelapa dan sebagian lainnya terjun ke dalam sungai bersama penghuninya. Sedangkan Hamid (22), warga desa Buakang mengaku bisa menyelamatkan diri bersama kedua orang tuanya Madjid dan Tarni setelah berpegangan sebatang pohon kelapa selama lebih dari empat jam. Mereka bertiga termasuk bagian dari sedikit warga di desa itu yang selamat, karena dari sekitar 90 jiwa penduduk di situ, sebanyak 50 orang ditemukan tewas dan beberapa lainnya masih dicari. "Saya terus memegang erat kedua orang tuang saya dengan melingkari sebatang pohon kelapa hingga air surut pada Selasa pagi itu," kata Hamid. Selain korban manusia, ratusan ternak sapi, kuda dan unggas milik warga desa itu juga musnah dibawa banjir. Di tengah perjalanan menuju desa kecil ini, masih terlihat bangkai puluhan ekor sapi dan kuda yang tersangkut di atas pepohonan. "Saya sampai muntah karena bau yang menyengat hidung dari bangkai-bangkai itu," ujar Sri, kontributor ANTARA News di Sinjai. Sulit air kurang obat Jumlah korban banjir dan tanah longsor di Sinjai hingga Jumat tercatat 186 tewas dan 3.392 orang mengungsi, tersebar di sembilan kecamatan. Saat ini para korban banjir yang selamat kesulitan memperoleh air bersih karena sumur mereka terkontaminasi lumpur. Mereka juga belum menerima bantuan air bersih maupun obat-obatan yang mereka butuhkan sementara, sejumlah warga mulai mengalami gatal-gatal, demam, dan diare. Sedangkan bantuan pangan dari posko bencana hanya ada pada hari pertama terjadinya bencana, belum ada bantuan susulan. Sejumlah korban hanya duduk termangu di lokasi rumah mereka yang porak-poranda menunggu datangnya bantuan pangan dan obat. Bupati Sinjai Andi Rudiyanto Asapa mengatakan, penyaluran bantuan telah makin gencar dikirim ke tempat-tempat penampungan pengungsi, menyusul terus mengalirnya bantuan dari berbagai pihak meski diakui masih ada yang belum terlayani secara maksimal. Menurut dia, air minum dalam bentuk air mineral, misalnya, terdistribusi secara cukup ke seluruh pengungsi yang ada di tempat penampungan. "Kalau pun ada yang belum dapat, mungkin mereka yang tinggal di rumah-rumah keluarga dan belum terdata baik oleh tim penolong," katanya. Sedangkan pelayanan kesehatan juga diakui belum maksimal, namun seiring dengan makin bertambahnya jumlah relawan kesehatan dari berbagai institusi pemerintah dan swasta serta obatan-obatan, pelayanan kesehatan warga kini makin intensif dilakukan, katanya. Pemerintah Kabupaten Sinjai bersama tim relawan dan dukungan aparat TNI, Polri, dan Marinir terus mengevakuasi korban. Sedangkan korban yang belum ditemukan terus diupayakan pencariannya, baik di reruntuhan bangunan maupun dengan cara menyisir sungai menggunakan puluhan perahu karet dari kesatuan Marinir yang berposko di bawah jembatan Biring Ngere.(*)
Oleh Oleh Syarifuddin May
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006