Kudatuli tidak akan pernah hilang dari sejarah PDI Perjuangan.
Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristoyanto menyebut kasus kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) berupa penyerangan Kantor DPP PDI di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 merupakan gerbang demokratisasi bagi Indonesia dan tidak akan pernah hilang dari sejarah partai berlambang banteng moncong putih itu.
Menurut dia, ada gerakan arus bawah melalui Kongres Luar Biasa (KLB) di Sukolilo pada tahun 1993, benih-benih yang mendorong penguasa untuk segala cara, termasuk tindak kekerasan, guna menghambat kepemimpinan Megawati. Puncaknya adalah melalui peristiwa Kudatuli.
Tidak hanya itu, penyair dan aktivis HAM Widji Tukul sampai sekarang belum jelas keberadaan dan siapa yang menculiknya. Widji Tukul hilang meski sempat menghadiri 1 tahun Kudatuli dan membacakan puisi.
"Puisi Widji Tukul itu kami akan pasang di Sekolah Partai guna mengingatkan bahwa PDI Perjuangan dengan suatu pengorbanan yang luar biasa, menjadi ciri PDI Perjuangan sejak asal mulanya dari PNI," ucap dia.
Hasto mengatakan bahwa peristiwa Kudatuli merupakan pelanggaran HAM berat. Serangan brutal atas nama kekuasaan yang diduga dilakukan secara sengaja.
"Pada hari ini kami mendapat pencerahan bahwa PDI Perjuangan akan terus berjuang sesuai dengan keputusan kongres, rekomendasi rakernas untuk mendorong pemerintah melalui Presiden Jokowi agar mengeluarkan perpres tentang keadilan yudisial dalam mengusut tuntas dan mengadili pelanggaran HAM peristiwa 27 Juli," tambah Hasto.
Ia menambahkan bahwa DPP PDI Perjuangan akan membentuk tim hukum untuk membuka kembali dokumen autentik yang membuktikan adanya pelanggaran HAM berat.
Baca juga: Usman Hamid dorong bentuk Pengadilan HAM Ad Hoc Tragedi Kudatuli
Baca juga: Sejarawan: Tragedi Kudatuli momentum dobrak kekuasaan Orde Baru
Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2023