Yogyakarta (ANTARA) - Satuan Reserse Kriminal Polresta Yogyakarta menangkap dua pria berinisial AW (43) dan SU (49) terduga pelaku tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan eksploitasi terhadap anak dengan korban mencapai 53 orang.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Yogyakarta AKP Archye Nevada di Mapolresta Yogyakarta, Kamis, mengatakan kasus itu terungkap pada Jumat (21/7) setelah polisi mendatangi sebuah lokasi di Gedongtengen, Kota Yogyakarta yang menjadi tempat menampung para korban TPPO.

"AW dan SU udah kami tetapkan sebagai tersangka dan sekarang sudah kami lakukan penahanan di rutan Polresta Yogyakarta," kata dia.

Archye menjelaskan pengungkapan kasus itu bermula dari informasi terkait adanya penampungan perempuan yang berkedok sebagai salon di Gedongten, Kota Yogyakarta.

Informasi itu diperoleh dari salah satu perempuan yang berhasil melarikan diri dari rumah penampungan itu.

"Karena merasa terkungkung di situ akhirnya perempuan itu kabur lewat belakang sampai menjebol asbes milik tetangga," kata dia.

Setelah menggeledah tempat itu, polisi menjumpai sebanyak 53 orang perempuan dengan dua di antaranya di bawah umur yang kemudian dibawa ke Polresta Yogyakarta untuk menjalani pemeriksaan.

Menurut dia, puluhan perempuan itu hanya boleh keluar penampungan itu saat mereka bekerja mulai pukul 19.00 WIB sampai 04.00 WIB.

Mereka ditampung kemudian dipekerjakan sebagai pemandu lagu di sebuah tempat karaoke di kawasan Pasar Kembang, Kota Yogyakarta.

"Hanya boleh melakukan aktivitas kerja. Tidak boleh keluar penampungan selain saat jam kerja," kata dia.

Berdasar keterangan yang diperoleh penyidik, penampungan tersebut telah beroperasi sejak 2014 dan sudah banyak perempuan yang keluar masuk penampungan tersebut.

Menurut Archye, di penampungan itu polisi juga mengamankan 120 KTP perempuan yang pernah bekerja di tempat itu.

Dalam kasus TPPO itu, AW, warga Gedongtengen, Yogyakarta berperan sebagai pemilik penampungan, sedangkan SU, warga Kebumen, Jawa Tengah bertugas mencari target korban sekaligus admin salon.

Dia mengungkapkan para korban direkrut pelaku dengan dibelikan sejumlah barang seperti telepon genggam hingga uang pinjaman lalu diikat dengan kerja sistem kontrak.

Selama bekerja di tempat karaoke di Pasar Kembang, mereka dibayar Rp100 ribu per jam sedangkan pemilik penampungan memungut 25 persen dari uang tersebut.

Namun demikian, gaji yang diperoleh para korban ternyata tidak sesuai yang seharusnya mereka terima. "Tidak sesuai yang didapatkan karena banyak potongan dan denda-denda," kata dia.

Atas perbuatannya, kedua pelaku dijerat sejumlah pasal, di antaranya Pasal 2 ayat 1 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Berikutnya, Pasal 88 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 296 Jo pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Terhadap para korban yang sebagian berasal dari luar DIY seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat dipulangkan ke daerah asal.

"Yang anak kami titipkan ke penitipan anak. Yang lain kembali ke daerah asal," ujar Archye.

Baca juga: Kemenkominfo edukasi PIP di NTT soal literasi keuangan dan modus TPPO

Baca juga: Polri sebut penindakan TPPO dapat maksimal setelah ada Satgas

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2023