Jakarta (ANTARA) - Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Abdul Rauf Muhammad Amin mengemukakan bahwa hijrah yang dilakukan seseorang harus memiliki pemaknaan yang kontekstual.

Oleh karena itu, menurut dia, hijrah tidak bisa dipandang secara hitam putih. Misalnya, dengan mengartikannya sebagai perpindahan tempat semata.

Hijrah itu harus substansial, bisa membawa pelakunya dari keburukan pada kebaikan.

"Tapi, itu sekali lagi tergantung pada cara berpikir. Terkadang anak-anak milenial itu memaknai hijrah perspektif yang konservatif," kata Rauf dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Menurut dia, penggunaan istilah hijrah saat ini menjadi cukup tenar, khususnya di kalangan generasi muda atau dikenal dengan istilah hijrah milenial.

Dia menjelaskan kalangan generasi muda berusaha mengaitkan hijrahnya Rasulullah SAW dengan upaya pribadinya dalam peningkatan pengamalan agama. Namun, banyak justru generasi muda yang salah kaprah menafsirkan makna hijrah.

"Terminologi hijrah dalam Islam harus dimaknai secara kontekstual. Maksudnya adalah bahwa hijrah itu harus mengakomodasi tiga hal, yakni wahyu, akal pikiran, dan realitas," ujarnya.

Menurut Rauf, kalau seseorang bisa mengombinasikan tiga hal tersebut untuk memahami Islam maka akan sangat powerfull untuk memperbaiki kualitas keagamaan.

Oleh karena itu, menurut dia, hijrah juga harus dimaknai sebagai perjalanan spiritual dan mentalitas sehingga dapat membawa seseorang memahami konsep moderasi beragama.

"Hijrah itu adalah perubahan pola pikir dari Islam yang radikal dan ekstrim, menjadi Islam yang moderat. Islam yang moderat itu yang sebenarnya dikehendaki dalam Islam, ini yang membutuhkan narasi-narasi yang sustainable agar bisa mengurangi terjadinya tren radikalisme," ujarnya.

Rauf menekankan urgensi agar generasi muda tidak melakukan klaim kebenaran atau truth claim karena hal itu sebenarnya menunjukkan kurangnya ilmu di dalam memahami Islam.

Dia menyarankan agar memperbanyak belajar sehingga bisa mengontekstualisasikan Islam dalam kehidupan nyata.

Dia juga menyoroti pentingnya mendapatkan panduan beragama yang valid dan aman, yaitu dengan mempelajari rekam jejak dari dai yang diikuti, apakah moderat atau tidak.

"Sangat disayangkan apabila dai yang kita jadikan panutan justru mengajarkan intoleransi yang sebenarnya jauh dari nilai-nilai keislaman itu sendiri. Beredarnya banyak kajian di internet yang di isi oleh beragam dai seharusnya membuat kita menjadi lebih selektif dalam mencari pelajaran agama," katanya.

Menurut dia, kesalahan dalam memilih guru bisa membentuk dan mengonstruksi pemahaman beragama menjadi pemahaman yang radikal.

Rauf menilai kalau hanya belajar di internet maka sangat potensial untuk melenceng dari pemahaman beragama yang sebenarnya.

Rauf mengingatkan bahwa para dai juga memiliki peranan penting dalam memahamkan hijrah secara benar pada masyarakat dan juga harus bisa menjadi sosok yang solutif dalam menjawab berbagai permasalahan umat.

"Dai yang berhasil melakukan kontekstualisasi Islam adalah yang dapat menjadi penolong di tengah sempitnya pemahaman beragama," katanya.

Menurut dia, seorang dai memiliki dua poin yang harus dikerjakan, yaitu pertama, memperbaiki diri dan pemahamannya; kedua, harus menarasikan pemikiran dan pemahaman yang baik kepada masyarakat.

"Termasuk para dai ini sebenarnya punya dua problem. Di samping dia harus memperbaiki diri dan pemahamannya, dia juga harus menarasikan pemikiran dan pemahaman yang baik kepada masyarakat," ujarnya.

Dia mengingatkan bahwa seorang dai jangan sampai menjadi bagian dari masalah, tapi justru harus bisa jadi solusi dari persoalan.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2023