klub-klub itu tidak benar-benar membutuhkan pemain Indonesia untuk kesebelasannya, melainkan diperlukan buat hal-hal di luar lapangan. Dapat saja, misalnya, urusan marketing atau promosi.
Jakarta (ANTARA) - Menjadi cita-cita sebagian besar pemain sepak bola Indonesia dapat bermain di klub-klub asing yang memiliki budaya kompetisi lebih tinggi ketimbang Indonesia. Pengalaman bermain di klub asing itu bakal memberi banyak manfaat bagi para pemain negeri ini.
Pertama, para pemain Indonesia mengalami dan merasakan sendiri “budaya sepak” bola negeri asing. Pemain tidak bakal mengalami seperti ungkapan peribahasa “bagaikan katak dalam tempurung,” alias cuma mengenal dunia sepak bola Indonesia saja, tapi tak pernah merasakan ada perkembangan sepak bola di luar negeri yang lebih maju. Dengan bermain di klub luar negeri, para pemain Indonesia tidak hanya mengenal budaya sepak bola dengan budaya lokal saja, tapi juga merasakan langsung atmosfer sepak bola asing lengkap dengan berbagai ekosistem yang melekat di sana.
Dari “budaya sepak bola” asing itu, terutama yang sepak bolanya lebih maju dari Indonesia, para pemain dapat mengambil hikmah dan pelajaran. Dalam budaya sepak bola asing itu yang sudah full profesional, pemain dituntut dan diajarkan untuk juga menerapkan profesional penuh: harus disiplin, mandiri, mampu beradaptasi dengan lingkungan pemain, kesebelasan, sekaligus budaya sepak bola asing. Ini sesuatu yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan profesional diri para pemain Indonesia.
Kedua, dengan bermain di klub asing, keterampilan teknis dan skill pemain kita juga berkembang. Level permainan di klub asing seharusnya mampu menggerek juga kualitas pemain Indonesia. Tanpa peningkatan kualitas, otomatis para pemain Indonesia tak mampu bersaing. Maka mau tidak mau, suka atau tidak suka, para pemain Indonesia yang bermain di klub asing dituntut selalu meningkatkan kualitas skill dan visi individunya.
Ketiga, dengan bermain di klub asing, pemain Indonesia memperoleh pengalaman dalam bertanding di level yang lebih tinggi sehingga terbiasa menghadapi arena pertandingan yang berat dan penuh tekanan.
Keempat, secara finansial pemain memperoleh penghasilan yang memadai. Walaupun sebenarnya ini cuma faktor pelengkap, bukan merupakan faktor utama yang menentukan. Hal ini lantaran bisa saja income di dalam negeri justru lebih besar.
Penghuni bangku cadangan
Dalam 5 tahun terakhir sejumlah pemain Indonesia dikontrak klub-klub asing. Sebut saja Amiruddin Bagus Kahfi (Jong Utrecht di Belanda), Egy Maulana Vikri (FC Vion Zlate Moravce), Witan Suleman (AS Trencin), Marselino Ferdinan (KMSK Deinze). Ada pula Pratama Arhan (Verdy Tokyo). Lalu ada juga Saddil Ramdani (Sabah FC) dan Asnawi Mangkualam (Jeonnam Dragons) dan lainnya. Sebelumnya, Irfan Bachdim pernah pula dikontrak di Hokkaido Consadole Sapporo. Itu sekadar menyebut beberapa contoh.
Kecuali pemain yang dikontrak di klub Korea dan negara Asia lainnya, boleh dikatakan sebagian besar pemain Indonesia yang berkiprah di klub Eropa dan Jepang mengalami kegagalan, bahkan gagal total.
Asa yang sebelum dikontrak melambung begitu tinggi, dalam kenyataannya malah kempes secara sistematis. Para pemain Indonesia setelah dikontrak klub asing bukannya berkembang malah mengalami penurunan penampilan.
Kenapa demikian? Ternyata para pemain Indonesia yang dikontrak klub-klub Eropa dan Jepang sejak awal datang, sebagian cuma dijadikan “pemanis bangku cadangan,” bahkan sering kali dijadikan pemain cadangan pun tidak. Apalagi dipasang sebagai starter.
Berjuta alasan pemain Indonesia tidak diterjunkan dalam pertandingan, apalagi menjadi tim inti. Mulai dari harus lebih banyak melakukan penyesuaian, tidak cocok dengan pola permainan klub, bukan tipikal pemain yang sesuai dengan “selera” atau keinginan pelatih, ada pemain lain yang lebih berkualitas di posisi sama, dan sebagainya.
Tentu kita bertanya-tanya, kalau memang klub-klub tersebut tidak memerlukan pemain Indonesia, kenapa mereka mau mengontrak para pemain kita? Jelas hal ini aneh. Mengapa para klub yang sebelumnya sangat antusias mendatangkan pemain Indonesia, lantas memperlakukan pemain kita sebagai “pajangan” belaka yang tidak pernah benar-benar dimainkan? Lebih parah lagi, meskipun pemain Indonesia waktu diberikan kesempatan kecil, sudah menunjukkan kemampuan yang mumpuni, tetap saja tak pernah dipilih menjadi pemain utama.
Contohnya Arhan. Kendati dia sudah tampil ciamik di Tokyo Verdy, sampai saat ini belum pernah sepenuhnya dipercaya menjadi pemain di kompetisi Liga 2 Jepang oleh klub yang mengontraknya, apalagi jadi starter. Arhan hanya dimainkan di pertandingan kompetisi non-liga alias di kompetisi yang mereka pandang tidak begitu penting. Akibatnya, bakat dan potensi Arhan yang besar selama di sana hampir tidak berkembang sesuai harapan.
Situasi seperti ini menimbulkan tanda tanya besar: bukankah kalau sudah sejak awal diketahui pemain Indonesia tidak bakal diturunkan, tidak usah dikontrak? Kenapa pemain Indonesia tetap dikontrak tetapi hanya ditempatkan sebagai langganan bangku cadangan? Beberapa bahkan kontraknya malah diperpanjang meski tidak dimainkan, apalagi dimasukkan sebagai tim inti.
Dari berbagai kasus seperti ini kita dapat menyimpulkan, klub-klub itu tidak benar-benar membutuhkan pemain Indonesia untuk kesebelasannya, melainkan diperlukan buat hal-hal di luar lapangan. Dapat saja, misalnya, urusan marketing atau promosi.
Umpamanya untuk menarik follower dari Indonesia karena biasanya pemain Indonesia memiliki banyak pengikut. Apalagi waktu awal dikontrak klub asing, follower-nya tambah banyak. Dengan begitu, klub dapat lebih terkenal.
Walhasil, para pemain Indonesia yang dikontrak klub-klub asing, terutama di Eropa dan Jepang, kembali ke Tanah Air hampir tanpa pengalaman bertanding yang berarti, malah pulang dalam keadaan yang kurang terlatih bermain.
Tentu tak semua pemain Indonesia mengalami nasib tragis. Ada beberapa pengecualian. Misalnya, terakhir Marselino dapat tampil apik di klubnya dan memang dimasukkan dalam tim inti. Makanya kualitas Marselino pun terus berkembang.
Harus ada kepastian
Berdasarkan pengalaman itu, kalau para pemain Indonesia yang bertalenta mendapat tawaran dikontrak klub asing, kini tak boleh berbesar hati dulu. Semua tawaran kontrak dari klub asing selayaknya perlu diwaspadai dan dipelajari dengan cermat untung ruginya.
Pertama-tama, perlu diselidiki apakah klub yang ingin mengontrak pemain Indonesia itu benar-benar membutuhkan tenaga pemain kita buat kesebelasannya? Atau sekadar memberi harapan semu dengan menempatkan pemain Indonesia sebagai “hiasan” alias penghuni bangku cadangan saja.
Di sinilah para agen pemain dan klub-klub asal pemain serta pemainnya sendiri harus memperoleh informasi akurat mengenai kenapa mereka sampai mau dikontrak oleh klub asing. Dalam hal ini perlu dipastikan, apakah pemain yang dikontrak bakal benar-benar diberikan waktu bermain, atau lagi-lagi hanya sebagai pemain “penonton abadi” di bangku cadangan.
Mungkin pemain Indonesia yang bakal dikontrak tidak langsung menjadi pemain inti, namun setidaknya harus mendapat kepastian pemain Indonesia bakal diberikan jam bermain yang cukup. Tanpa kejelasan, apakah pemain Indonesia memperoleh jam bermain yang memadai, kontrak itu tak banyak memberikan manfaat kepada pemain kita. Buntutnya juga tak memberikan kontribusi berarti kepada kesebelasan nasional Indonesia.
Para agen, klub, dan pemain harus berdiskusi intens dengan klub yang mau kontraknya. Tidak boleh lagi lantaran sudah senang dan merasa prestisius, langsung menerimanya. Hanya jika sudah benar-benar kehadiran pemain di lapangan dibutuhkan oleh klub yang akan mengontrak, tawaran tersebut patut diterima. Sebaliknya jika hanya dijadikan “boneka Barbie” alias penghias, tawaran kontrak seperti itu ditampik saja.
Melepas pada usia tepat
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam “melepas” pemain yang bakal dikontrak klub asing adalah faktor usia. Sudah terbukti baik di Indonesia maupun dari negara Asia Tenggara lainnya, pemain muda dan belia yang dikirim ke luar negeri dalam usia yang mentalitasnya belum stabil, sebagian besar tidak berhasil meraih sukses dalam kiprahnya di luar negeri. Mereka kembali ke Indonesia sebagai “bintang yang gagal bersinar.” Lebih parah lagi, karier mereka di dalam negeri pun meredup.
Setiap pemain usia belia dan muda mempunyai mentalitas yang berbeda-beda. Ada yang walaupun usianya masih remaja, mereka mampu menyesuaikan diri di lingkungan klub barunya.
Akan tetapi fakta yang bicara, sebagian pemain belia dan muda yang menjadi pemain di luar negeri mengalami kesulitan. Tuntutan atau harapan besar dari masyarakat Indonesia yang sangat besar terhadap perkembangan pemain tersebut di satu sisi dan fakta pada sisi lain, pemain kita diperlakukan hanya sebagai pelengkap dengan menit bermain yang minim. Hal ini membuat kejiwaan pemain sangat tertekan. Mereka sering layu sebelum berkembang.
Oleh sebab itu, sebelum pemain usia belia atau muda kita “dikirim” keluar negeri bergabung dengan klub asing, perlu benar diperhatikan perkembangan kejiwaan mereka sesuai dengan usia dan karakter masing-masing. Perlu pemeriksaan psikologi seberapa jauh para pemain sudah dapat dilepas atau belum keluar negeri. Jika mereka belum siap, atau masih diragukan, sebaiknya tegas saja: dicegah dulu untuk keluar negeri. Tunggu sampai usia mereka lebih mantap dan matang untuk bermain di klub luar negeri.
Dengan begitu, pemain yang pergi ke klub asing hampir dipastikan mampu beradaptasi dan berkompetisi dengan pemain-pemain klub asing yang mau mengontrak. Buntutnya, pemain akan menjadi lebih matang dan ujung-ujungnya akan menguntungkan buat kesebelasan Indonesia.
Subsidi gaji
Ada cara lain untuk membuat para pemain muda kita dapat dikontrak dan terpantau, antara lain, dengan memberikan subsidi gaji pemain Indonesia kepada klub yang mengontraknya. Caranya, dengan “meminjamkan” pemain muda ke klub asing dengan gaji pemain tersebut dibayar dari Indonesia, terutama dari PSSI.
Banyak klub asing ingin mengontrak pemain muda Indonesia. Hanya saja tidak semua klub asing itu memiliki finansial yang cukup untuk mengontrak pemain dari Indonesia. Mereka takut berspekulasi jika mengontrak pemain Indonesia tidak memenuhi ekspektasi, mereka bakal mengeluarkan banyak biaya.
Nah, untuk mencegah ada kekhawatiran semacam ini dari klub asing yang bersangkutan, kita dapat menawarkan metode skema “peminjaman” dengan gaji pemain Indonesia yang mau dikontrak ditanggung oleh pihak Indonesia. Metode ini dimungkinkan dalam mekanisme FIFA.
Untuk itu, kita tentu harus punya peta klub-klub mana saja yang potensial tertarik dan bersedia mengontrak pemain Indonesia namun kemungkinan agak terkendala perhitungan finansial, kita dapat melakukan negosiasi dengan mereka.
Melalui cara seperti ini kita membantu pemain muda Indonesia bermain di klub asing. Bersamaan dengan Itu klub asing juga tidak terbebani urusan finansial buat pemain Indonesia.
Jika pemain muda kita sudah mengecap pengalaman di klub asing dan melewati usia 20 tahun, mereka dapat dilepas bebas. Tak ada lagi subsidi gaji dan lainnya. Mereka sudah harus mencari dan memperolehnya sendiri. Para pemain sudah dituntut bertindak profesional.
Ke depan kita perlu mengubah paradigma jika pemain-pemain muda kita dikontrak klub asing, pastilah bakal maju dan berkembang. Banyak faktor lain yang menentukan apakah kontrak itu bermanfaat atau malah menjadi mudlarat buat pemain Indonesia, kesebelasan Indonesia dan budaya persepakbolaan Indonesia.
Misal, buat apakah pemain Indonesia dikontrak klub asing jika cuma menjadi pemain cadangan abadi di klub tersebut.
*Wina Armada Sukardi adalah analis sepak bola
Copyright © ANTARA 2023