Saya nggak tahu apa maunya mereka sehingga mengamuk tanpa mengenal belas kasihan seperti itu."

Bandarlampung (ANTARA News) - Petambak dan karyawan perusahaan tambak udang PT Central Pertiwi Bahari (Bratasena) di Kecamatan Dente Teladas Kabupaten Tulangbawang Provinsi Lampung, hingga Jumat masih menjalani perawatan di rumah sakit Bandarlampung.

Salah satu karyawan bagian perawatan dan teknisi peralatan di PT CPB yang masih dirawat di salah satu rumah sakit di Bandarlampung mengaku, kini kondisi tubuhnya mulai membaik walaupun belum diperbolehkan pulang dari RS itu hingga dinilai pulih.

"Hari ini kondisi lumayan membaik dibandingkan beberapa hari sebelumnya, walaupun kepala masih agak pusing dan badan masih terasa gemetaran," kata bapak dua anak yang minta namanya tidak disebutkan itu, didampingi istri, orang tua, dan salah satu anak perempuannya.

Menurut dia, saat kejadian bentrokan antarpetambak, Selasa (12/3) menjelang sore, dia sempat melihat kerumunan orang di salah satu pintu masuk areal pertambakan itu sehingga menarik dirinya untuk mendekat untuk mengetahui kejadiannya.

Tanpa disangka, terjadi bentrokan antarpetambak yang juga melibatkan karyawan, dan dia yang justru menjadi sasaran amukan massa menggunakan berbagai benda keras dan tajam secara membabi-buta.

Selain beberapa pukulan dan sabetan senjata tajam mengenai kepala, punggung dan tangannya, dia juga terkena tombak di paha kanannya.

"Untung saat kejadian itu, ada anggota TNI mengamankan saya dan segera membawa ke tempat aman, tak tahu bagaimana jadinya kalau tidak diselamatkan dia," ujarnya lagi.

Kini setelah dirawat sembilan hari di salah satu RS di Bandarlampung, jahitan luka di beberapa tempat pada kepalanya sudah dibuka dan tidak diperban lagi.

Namun bekas luka sabetan benda tajam dan pukulan benda keras masih nampak di kepalanya.

"Saya nggak tahu apa maunya mereka sehingga mengamuk tanpa mengenal belas kasihan seperti itu," kata dia lagi.

Dia berharap kejadian buruk itu tidak dialaminya lagi dan permasalahan di kawasan pertambakan Bratasena itu dapat segera diselesaikan dengan baik tanpa timbul korban lagi.

Salah satu petambak yang sempat beberapa hari dirawat di RS di Bandarlampung ini sudah dibolehkan pulang walaupun sementara masih tinggal dengan keluarga dekatnya di Bandarlampung.

Petambak ini mengaku belum lama masuk ke pertambakan Bratasena, dari semula menjadi petambak yang melakukan budidaya udang di Bumi Dipasena (Aruna Wiajaya Sakti/eks PT Dipasena Citra Darmaja).

Dia mengakui, kini hampir tak ada lagi harapan besar untuk membudidayakan udang secara optimal seperti sebelumnya di eks Dipasena, mengingat berbagai sarana vital dan fasilitas utama untuk budidaya udang kualitas ekspor di sana hampir semuanya sudah tidak ada lagi.

Menurut dia, agar produktivitas terus meningkat, fasilitas dan sarana budidaya disiapkan, dan hasil udang dijamin pemasarannya, petambak memerlukan kerja sama dengan perusahaan untuk mendukung budidaya udang secara intensif dengan sasaran ekspor itu.

"Walaupun mungkin bisa, menurut saya akan sulit memaksakan membudidayakan udang secara mandiri tanpa dukungan perusahaan yang dapat menjadi penjamin sekaligus bapak angkat," kata petambak itu pula.

Pihak petambak sebagai "anak angkat" menurut dia, seharusnya dapat menjalin hubungan dan kemitraan secara baik-baik dengan "bapak angkat", agar kerja sama kemitraan itu berjalan lancar dan produktif.

"Kalau sebagai anak angkat kita melawan terus menerus, tentu saja bapak angkat akan mengambil tindakan seperlunya," ujar dia lagi.


Tiga Tewas

Akibat bentrokan antarpetambak yang melibatkan karyawan dan petugas pengamanan PT CPB pada Selasa (12/3), mengakibatkan tiga korban meninggal dunia, yaitu Suwandi alias Wawan (40 tahun), karyawan coldstorage, Edi Ardiansyah (25), karyawan coldroom, alamat dusun 4 RT/RW 04/04 Rekso binangun Rumbia, dan Sumanto (36), petambak plasma, alamat Blok 1, jalur 22, petak 12 Kampung Adiwarna.

Jasad ketiganya ditemukan pada Rabu (13/3), di kanal pertambakan dan diduga akibat tenggelam saat berusaha menyelamatkan diri dari bentrokan saat itu.

Sedangkan korban kritis adalah Joko (30), karyawan P2K, mengalami luka akibat bacokan di bagian kepala sehingga mengalami pendarahan dan harus dioperasi di RS Imanuel Bandarlampung (sebelumnya dirawat di RSUD Abdoel Moeloek Bandarlampung).

Kepala Komunikasi (Humas) PT CPB Tarpin A Nasri menyebutkan, akibat bentrokan antarpetambak itu, kawasan tambak Bratasena walaupun belum ada budidaya udang lagi, mendapatkan pengamanan ratusan polisi dibantu unsur TNI.

Sebagian besar petambak dan karyawan di sana harus mengungsi untuk menjaga keselamatan diri mereka.

Tarpin menyebutkan, karyawan yang mengungsi sebanyak 613 jiwa, dan pengungsi petambak plasma 1.311 jiwa.

Dia menjelaskan, korban yang dirujuk ke RS sebanyak tujuh orang, terdiri empat karyawan dan tiga orang plasma.

Tarpin membenarkan bahwa perusahaan tidak memberikan lagi biaya hidup (PBH) dan natura untuk para petambak Bratasena itu.

"Benar, untuk sementara tidak diberikan dulu sampai batas waktu yang tidak ditentukan, karena CPB sudah tidak berbudidaya," kata dia.

Menurut dia, agar perusahaan tetap beroperasi, PT CPB mengambil hasil panen udang petambak dari perusahaan lain seperti PT Wahyu Mandira di Provinsi Sumatera Selayan, namun pasokan udang masih mengalami kekurangan 100 ton per hari.

Karena itu, perusahaan melakukan pengurangan tenaga kerja di Food Processing Division (FPD) yang berasal dari tenaga outsourcing dan petambak.

PT CPB memiliki luas areal 8.000 hektare, termasuk infrastruktur dan petambakan, terdiri dari empat blok (Blok 2, Blok 1, Blok 71/Tanjung Krosok, dan Blok 81), terbagi dalam dua kampung (Bratasena Adiwarna dan Bratasena Mandiri).

Total petambak plasma awalnya 3.333 orang namun setelah dikurangi yang mengambil tali asih sebanyak 994 orang, sehingga jumlah petambak perusahaan tersebut kini berkurang menjadi 2.339 orang, sedangkn jumlah karyawan tetap 1.900 orang ditambah karyawan outsourcing 5.915 orang.

Saat ini di areal pertambakan Bratasena ini, terdapat dua kelompok besar organisasi petambak, yaitu Petambak Pro-Kemitraan (P2K) dan petambak Forum Silaturahmi (Forsil), dengan mayoritas petambak mendukung P2K.

Para petambak PT CPB yang tergabung dalam Forsil justru menilai kebijakan Pemerintah Kabuten Tulangbawang dalam menyikapi persoalan antarpetambak dan perusahaan di Bratasena itu, cenderung memihak pada perusahaan tersebut.

"Kebijakan Pemkab yang dikeluarkan seperti layaknya humas atau pemilik perusahaan, bukan memposisikan diri sebagai pemerintah yang seharusnya ikut menyelesaikan permasalahan ini," kata salah satu kuasa hukum petambak Forum Silaturahmi (Forsil), Indra Firsada.

Menurut Indra, salah satu kebijakan Pemkab Tulangbawang yang dinilai mendukung perusahaan adalah pengusiran para petambak Forsil dari Bumi Bratasena, areal pertambakan PT CPB itu.

"Apa dasar pengusiran itu, mengingat secara legal lahan tersebut adalah milik petambak yang dibuktikan dengan sertifikat kepemilikan petambak itu sendiri," ujar mantan Direktur LBH Bandarlampung itu pula.

Sertifikat lahan tambak tersebut, menurut Indra, bernilai antara Rp140 juta hingga Rp190 juta dan saat ini dijadikan agunan ke perusahaan agar petambak dapat memperoleh pinjaman modal budidaya tambak udang di areal tersebut.

"Diskriminasi lainnya yang dirasakan oleh petambak Forsil adalah penangkapan oleh kepolisian terhadap 21 orang anggota Forsil yang sekarang status mereka sudah menjadi tersangka," kata Indra lagi.

Padahal menurut dia, petambak Forsil sebenarnya masih ingin bermitra dengan perusahaan, namun perusahaan terus menolaknya.

Namun atas tudingan bahwa pihak perusahaan berada di balik pertikaian antarpetambak itu, Head of Corporate Communication PT Central Proteinaprima Tbk (CP Prima) George H Basoeki selaku induk perusahaan PT CPB, secara tegas menepiskan spekulasi itu.

Menurut dia, perusahaan justru berusaha untuk tetap dapat bermitra dengan petambak secara baik-baik sesuai dengan kesepakatan hasil perundingan dengan para petambak itu, khususnya yang tergabung dalam Forsil.

George menegaskan, bila memang perusahaan ingin mengadu-domba atau mengatur skenario bentrok antarpetambak itu, sudah bisa dilakukan jauh hari sebelumnya.

Padahal selama permasalahan dengan sebagian petambak Forsil itu mengemuka, aktivitas budidaya udang di pertambakan itu terhenti sementara hingga saat ini, berakibat perusahaan harus menanggung sejumlah pembiayaan tanpa produksi dan ekspor udang yang diperlukan untuk menopangnya.

"Kami berharap permasalahan ini segera diatasi dan selesai dengan baik, perusahaan tetap perlu bekerjasama dengan para petambak di sini sehingga akan berpeluang memproduksi udang secara lebih banyak lagi," kata George pula. (EM*B014)

Pewarta: Budisantoso Budiman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013