Mentok, Babel (ANTARA) - Akademisi Universitas Bangka Belitung mengajak penyelenggara pemilu dan seluruh elemen yang terlibat dalam kepemiluan untuk mengampanyekan kepada para pemilih untuk menolak praktik politik uang pada pelaksanaan Pemilu 2024, karena penerima praktik politik uang cenderung meningkat.
"Mari kita menjadi pemilih yang bertanggung jawab, menjadi pemilih yang berkomitmen untuk menolak dan melawan praktik politik uang di setiap momen politik elektoral yang melibatkan kita," kata Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Bangka Belitung Ranto MA di Mentok, Minggu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukannya bersama Yayasan Kapong Sebubong Indonesia terjadi adanya kenaikan tingkat toleransi penerimaan para pemilih terhadap praktik politik uang.
Pada penelitian yang dilakukannya di Kabupaten Bangka Tengah sebulan sebelum pelaksanaan Pemilihan Legislatif 2019 menunjukkan 17,1 persen masyarakat di daerah itu yang sudah terdaftar sebagai pemilih menerima praktik politik uang, 12,3 persen yang menjawab ragu-ragu antara menerima apa menolak, 68,1 persen menolak atau tidak setuju dan sisanya 2,8 persen tidak bersedia mengomentari dan merespons pertanyaan.
Berikutnya, pada perhelatan Pilkada 2020 di Bangka Tengah, juga terekam fenomena terjadinya peningkatan drastis pada pemilih yang menganggap wajar atau menerima praktik politik uang yaitu sebesar 34,3 persen, menolak sebanyak 41,8 persen, ragu-ragu 19,5 persen dan 4,3 persen yang tidak menjawab pertanyaan.
"Fenomena ini cukup menyedihkan karena hanya berselang 1 tahun 4 bulan saja terjadi peningkatan persentase jumlah pemilih yang menerima praktik politik uang. Jumlah ini cukup tinggi dari yang awalnya menolak praktik politik uang di Pileg 2019 sebanyak 68,1 persen langsung turun drastis menjadi 41,8 pada Pilkada 2020," ujarnya.
Pengalaman ini menandakan bahwa terjadinya penurunan sebanyak 26,3 persen pemilih yang menolak praktik politik uang dan di saat bersamaan, publik semakin menyatakan sikapnya bahwa politik uang merupakan tindakan yang wajar terus bertambah dari posisi semula hanya 17,1 persen di Pileg 2019 meningkat menjadi 34,3 persen di Pilkada 2020.
"Secara sederhana, telah terjadi lonjakan sebanyak 17,2 persen yang mulai toleran terhadap praktik politik uang. Ini menjadi potret buram bagi perjalanan demokrasi lokal di Indonesia," katanya.
Dari informasi yang sudah disajikan berdasarkan pengalaman pemilu yang lalu menunjukkan pemilih, bahkan pemilih dari kelompok milenial mulai terjerat dalam praktik politik uang.
Menurut dia, salah satu elemen paling penting dalam demokrasi adalah pelakunya dan untuk menghambat laju praktik politik uang maka tindakan memutus mata rantainya (supplyside dan demandside) merupakan pilihan yang logis.
Aktor yang berperan sebagai supplyside yakni peserta pemilu perlu dibatasi area manuvernya, begitu juga dengan aktor lainnya yang memosisikan diri sebagai demandside (pemilih) harus dipersempit ruang geraknya.
"Kita perlu mengingatkan sekaligus menyadarkan peserta pemilu (partai politik, politisi) dari bahayanya praktik politik uang bagi kehidupan demokrasi di Indonesia," katanya.
Institusi politik harus terus disadarkan agar bisa bersama-sama mengikis terjadinya praktik politik uang agar tidak menjadi permasalahan utama yang menyebabkan praktik politik uang semakin mengakar terjadi saat ini.
Selanjutnya, hal lainnya yang tersisa untuk dilakukan adalah menyadarkan para pemilih agar semakin bertanggung jawab dengan cara meningkatkan kualitas pemilih, baik dari sisi "democratic mind" (gagasan demokrasi), "democratic attitude" (perilaku demokratis) dan "democratic skill" (kemampuan berdemokrasi).
Ketika ada pemilih yang tidak setuju dengan praktik politik uang maka pemilih tersebut sedang berada di arena gagasan demokrasi, berikutnya, adanya pemilih yang patuh dan taat terhadap aturan-aturan yang berkaitan dengan pelarangan terhadap politik uang merupakan wujud dari kesadaran perilaku demokrasi, sedangkan bagi pemilih yang berusaha untuk mencegah praktik politik uang maka pemilih tadi menjadi bagian dari kemampuan demokrasi.
"Inilah yang akan menentukan masa depan demokrasi kita dalam godaan dan jeratan politik uang yang semakin tumbuh subur dewasa ini, bagi kita yang hanya terkurung dalam gagasan demokrasi saja, tidak mau menyelaraskannya dengan perilaku dan kemampuan berdemokrasi maka langkah kita melawan praktik politik uang pasti akan kalah," katanya.
Menurut dia, jika mengharapkan proses demokrasi tidak dicederai oleh jual-beli suara maka jangan pernah memisahkan tiga hal penting tersebut, jangan sampai hanya karena ide-ide tentang pencegahan praktik politik uang tidak disetujui maka terjadi sikap pembiaran.
Oleh karena itu, menyatukan tiga elemen tadi harus terus diedukasikan di semua kelompok pemilih yang ada di Indonesia. "Mari kita menjadi pemilih yang bertanggungjawab, menjadi pemilih yang berkomitmen untuk menolak dan melawan praktik politik uang," demikian Ranto.
Pewarta: Donatus Dasapurna Putranta
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2023