Gaza (ANTARA) - Di tengah panas menyengat dan krisis pasokan listrik, Yafa Abu Mouawad, seorang wanita Palestina yang tinggal di Jalur Gaza utara, tak punya pilihan selain menempatkan anak-anaknya di dalam ember plastik berisi air untuk membantu mereka menyejukkan diri.

"Sejak awal Juli lalu, kami telah menderita akibat pemadaman listrik selama berjam-jam," keluh ibu lima anak berusia 34 tahun itu kepada Xinhua.

Situasi pun semakin diperparah oleh tagihan listrik yang kembali dibebankan sejak setengah tahun lalu setelah sempat dibebaskan, kata wanita itu.

"Sebelumnya, saya tidak membayar biaya apa pun karena keluarga saya miskin. Namun, kini situasinya berubah. Saya harus membayar setidaknya 30 dolar AS (1 dolar AS = Rp14.991) per bulan untuk listrik yang bahkan tidak tersedia," keluh wanita itu.

"Selama lebih dari 15 tahun, pemerintah setempat menerima dana puluhan juta dolar dari donatur, tetapi mereka masih tidak dapat menyelesaikan masalah ini," ujarnya.

Dua orang wanita di Jalur Gaza, Palestina, merendam anak-anak mereka dalam ember untuk menyejukkan diri saat suhu panas udara meningkat. Krisis pasokan listrik membuat warga Jalur Gaza semakin menderita pada bulan-bulan di musim panas dan musim dingin. (Xinhua)

Daerah kantong pesisir yang dihuni oleh lebih dari 2,3 juta orang itu membutuhkan sekitar 500 megawatt listrik per hari, tetapi pasokan listrik Gaza masih jauh dari angka tersebut.

Menurut sejumlah pejabat setempat, Jalur Gaza menerima 120 megawatt listrik dari Israel, sedangkan satu-satunya pembangkit listrik yang dimiliki daerah itu hanya mampu menghasilkan 60 megawatt.

Krisis pasokan listrik membuat daerah itu terpaksa melakukan pemadaman listrik setiap delapan jam. Situasi ini bahkan bisa menjadi lebih buruk pada bulan-bulan di musim panas dan musim dingin, ketika pemadaman listrik dapat berlangsung hingga 12 jam.

Otoritas Palestina, yang membayar pasokan listrik yang dialirkan ke Jalur Gaza dari Israel, menyalahkan Hamas atas krisis tersebut dan menganggap kelompok itu bertanggung jawab atas pengumpulan pendapatan listrik.

Sejumlah anak di Jalur Gaza, Palestina, bermain di pancuran air untuk menyejukkan diri mereka saat suhu panas udara meningkat. Jalur Gaza menerima 120 megawatt listrik dari Israel, sedangkan satu-satunya pembangkit listrik yang dimiliki daerah itu hanya mampu menghasilkan 60 megawatt. (Xinhua)

Jalal Ismail, kepala Otoritas Energi di Gaza, mengatakan kepada Xinhua bahwa "gelombang panas musim panas memperburuk krisis listrik saat ini dan semakin memperlihatkan defisit yang terjadi.

Namun, dia menilai bahwa "solusinya harus bersifat politis... krisis 15 tahun ini didasari oleh perpecahan internal antara Hamas dan Fatah, yang dikuasai oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas."

Untuk mengekspresikan kemarahan terkait krisis listrik ini, para aktivis lokal meluncurkan sebuah kampanye daring, yang menuntut solusi mendesak dari para pihak berwenang dan perusahaan listrik.

Lewat tagar "Fourth turbine" (Turbin keempat), kampanye itu menyebar di kalangan warga setempat, dengan puluhan ribu orang menyuarakan keluhan mereka di platform-platform media sosial. Beberapa warga Gaza membagikan foto dan video singkat tentang para warga lanjut usia dan anak-anak yang menderita akibat gelombang panas yang menyengat.

"Dari waktu ke waktu, kami selalu mendengar kabar bahwa krisis ini akan segera berakhir, tetapi kenyataan di lapangan membuktikan bahwa tidak ada banyak harapan," ujar Reem Fares, seorang perempuan muda dari Kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan.

Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2023