anak dengan potensi bawaan yang biasa-biasa saja, bisa menjadi optimal ketika tumbuh di lingkungan yang memberikan dukungan pada dirinya secara penuh.
JAKARTA (ANTARA) - Tak dimungkiri bahwa generasi masa kini memiliki nilai lebih. Mereka pintar, kreatif, dan melek teknologi. Akan tetapi di bagian lain, anak zaman sekarang dinilai masih kurang dalam hal adab, budi pekerti, tata krama, dan akhlak.
Perayaan Hari Anak Nasional bisa menjadi momen untuk membenahi pola didik anak dalam rangka menyiapkan angkatan calon pemimpin yang berakhlak sekaligus menyudahi generasi koruptif.
Ancaman resesi akhlak akan menimbulkan kengerian tersendiri, melebihi bahaya krisis ekonomi maupun pandemi. Karena akhlak adalah pembeda utama antara manusia dengan makhluk lain di Bumi. Realitanya, faktor pembeda itu kian menipis akibat perilaku tercela yang dilakukan manusia terhadap sesama, kepada satwa, juga alam semesta.
Pada generasi anak-anak, perilaku pidana sudah menggejala. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut, sejak 2011 hingga akhir 2018, tercatat 11.116 anak di Indonesia tersangkut kasus kriminal. Tindak kriminal yang mendominasi seperti kejahatan jalan, pencurian, begal, geng motor, bahkan pembunuhan. Data yang lebih baru tahun 2022 dari lembaga yang sama, mencatat sebanyak 2.883 kasus kejahatan dengan pelaku masih kategori anak.
Selain pengaruh pola asuh, internet dan tayangan televisi menjadi salah satu sumber inspirasi anak-anak dalam melakukan aksi kejahatan. Karenanya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) terus menggencarkan kampanye perlindungan anak dari paparan konten atau tayangan tidak layak.
Pada peringatan Hari Anak Nasional 2023 di Semarang, KemenPPPA dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meresmikan penandatanganan perjanjian kerja sama, untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan remaja melalui media penyiaran yang ramah anak. Hal itu dilakukan dalam upaya pemenuhan hak anak atas informasi yang layak dengan tayangan ramah anak.
Menteri PPPA Bintang Puspayoga mengemukakan bahwa informasi yang tidak layak anak dapat memberikan dampak negatif bagi anak, di antaranya: perilaku kekerasan seksual, kerusakan fungsi otak, perundungan siber, dan kejahatan daring.
Salah satu hak anak yang harus dipenuhi oleh Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat adalah hak atas informasi yang layak.
“Anak harus dilindungi dari berbagai bentuk informasi yang tidak layak, seperti informasi yang mengandung unsur kekerasan, pornografi, radikalisme dan lain-lain,” tegas Bintang.
Siaran ramah anak mutlak diperlukan tanpa mengabaikan sisi hiburannya, namun harus tetap memberikan dampak positif baik bagi tumbuh kembang dan perlindungan anak.
Faktor eksternal
Pola asuh merupakan faktor paling berpengaruh dalam proses tumbuh kembang anak. Sebutannya buah hati, idealnya anak dibesarkan dan dididik oleh kedua orang tuanya langsung untuk memperoleh perhatian terbaik. Namun dalam praktiknya tidak semua berlangsung ideal, karena banyak anak yang tidak mengenyam kasih sayang penuh orang tua oleh karena berbagai alasan. Atas kondisi itu, banyak faktor eksternal membawa pengaruh dalam membentuk karakter dan akhlak anak. Berikut beberapa contoh yang lazim terjadi di masyarakat.
- Dititipkan. Banyak pasangan suami istri yang sibuk bekerja sehingga terpaksa menitipkan anaknya pada orang tua (kakek-nenek), anggota keluarga, pengasuh (baby sitter), bahkan ke tetangga atau tempat penitipan anak. Maka merekalah yang sehari-hari mendidik anak tersebut dan memberi pengaruh besar p1ada perkembangan anak baik secara fisik maupun mental.
- Lingkungan. Suasana dan kondisi lingkungan sosial juga berdampak pada pembentukan akhlak anak. Bagaimana anak-anak secara mengejutkan melontarkan kata-kata kotor, ternyata memperoleh asupan kosa kata dari tetangga sekitar. Atau tetangga secara iseng mengajarkan hal-hal yang tak layak dengan maksud bercanda untuk lucu-lucuan. Ada kalanya anak juga menyaksikan adegan pertengkaran dan kekerasan yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya. Bahkan pergaulan dengan teman sebaya pun tak jarang turut menjerumuskan pada kenakalan.
- Tontotan. Anak-anak adalah peniru yang baik, maka apa yang mereka tonton menjadi referensi untuk dipraktikkan ketika ada kesempatan. Tayangan televisi yang tidak ramah anak bisa meracuni pola pikir yang kemudian terefleksikan pada perilaku mereka. Sungguh berbahaya menonton televisi, tayangan film, atau akses internet tanpa pengawasan dan pendampingan.
Tutur guru
Sekolah merupakan wahana tempat anak-anak “dititipkan” oleh orang tuanya untuk memperoleh pendidikan, termasuk karakter dan pembinaan akhlak di dalamnya.
Bagaimana pendidikan akhlak ditanamkan sejak dini, guru PAUD Tunas Bangsa di Krukut, Limo, Depok, Jawa Barat, Yuli Budianti menggambarkan keseharian di sekolah pra TK itu.
“Untuk penanaman akhlak membiasakan basic manner seperti meminta tolong, terima kasih, dan juga maaf,” kata Yuli.
Penerapan basic manner tidak hanya terhadap anak murid tetapi juga guru serta warga sekolah harus melakukannya, supaya anak juga melihat contoh dan menjadi terbiasa.
Lalu Yuli mencontohkan hal lain yang dibiasakan berkenaan dengan pembinaan akhlak.
Setiap pagi dibiasakan mengucapkan salam, terus salim ke guru. Juga tidak lupa selalu berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan.
Selainnya, terhadap para balita itu juga diajarkan saling berbagi ke sesama teman sebaya, seperti bekal sekolah atau jajan yang biasa dibawa.
Kemudian pada tingkat sekolah dasar (SD), guru SD Negeri Babelan Kota 01 Bekasi, Jawa Barat, Ngatimah menceritakan upaya menerapkan pendidikan akhlak dalam rutinitas muridnya di sekolah.
“Setiap hari sebelum KBM dimulai kami adakan kegiatan literasi membaca Al Qur'an (bagi yang muslim) dan membaca Alkitab (bagi yang Kristen/Katolik) selama10-15 menit untuk menanamkan rajin ibadah dan takut kepada Sang Pencipta," katanya.
Selain itu, setiap hari Jumat juga diadakan shalat Duha berjamaah dilanjut tausyiah.
“Juga pembiasaan mengucap salam, bersalaman dengan guru jika berpapasan, tidak boleh mengucap kata-kata kotor, dan penanaman sikap saling menghormati sesama teman, serta dilarang ada tindakan perundungan,” ujar Ngatimah yang telah mengabdi sebagai tenaga pendidik selama hampir dua dekade itu.
Cerita serupa juga diungkapkan Rumiyati, guru MI Al Ijtihad di Desa Iwul Kecamatan Parung, Bogor, Jawa Barat. Menurutnya, penanaman akhlak yang dia lakukan di sekolah, yaitu mendidik dengan cara memberikan latihan-latihan terhadap suatu norma tertentu, kemudian membiasakan untuk mengulanginya berkali-kali agar menjadi bagian hidupnya.
“Seperti shalat, puasa, kesopanan terhadap guru, orang tua dan kakak kelas,” Rumi mencontohkan.
Di sekolah itu, nilai agama juga ditanamkan melalui praktik hafalan surat pendek dan doa harian.
Nature - Nurture
Psikolog pendidikan Viska Erma Mustika melihat persoalan akhlak anak dari kacamata psikologis. Karakter anak terbentuk secara nature dan nurture.
Nature berarti anak memiliki karakter yang secara genetis diturunkan dari orang tuanya (sudah ada di dalam diri anak). Nurture adalah karakter anak yang disebabkan oleh faktor lingkungan di mana seorang anak lahir dan dibesarkan.
Kedua faktor itu bersifat saling menguatkan. Anak yang terlahir dengan potensi bawaan yang unggul, menurut dia, tidak ada artinya apabila ia tumbuh di lingkungan yang tidak supportive. Begitupun sebaliknya, anak yang terlahir dengan potensi bawaan yang biasa-biasa saja, bisa menjadi optimal ketika tumbuh di lingkungan yang memberikan dukungan pada dirinya secara penuh.
Pengasuhan menjadi faktor nurture bagi seorang anak. Di mana anak dilahirkan, di situlah anak menemukan guru pertamanya di dunia, yang itu seringkali adalah orang tua. Dari orang tua, anak belajar tentang dunia, bagaimana melihat dunia, dan bagaimana semestinya bersikap pada dunia.
Psikolog lulusan UGM Yogyakarta itu mengemukakan bahwa dalam mengasuh, ada dua hal mendasar yang perlu dipahami orang tua.
Pertama, sebagai orang tua, pahami nilai-nilai apa yang ingin diwariskan kepada anak.
Tentunya tiap-tiap keluarga memiliki keyakinan yang berbeda-beda terkait nilai-nilai ini, tergantung kultur tiap keluarga.
Kedua, pahami kondisi anak, baik karakter bawaan maupun kebutuhan dasar sesuai tahap perkembangannya.
Secara psikologis, ada konsep universal yang bisa dipahami sebagai basis dalam mengasuh anak. Bukan pada model pengasuhannya, tapi terletak pada apa yang menjadi kebutuhan utama anak-anak untuk berkembang secara optimal.
Menurut Teori Erikson tentang delapan tahap perkembangan manusia, berkembangnya manusia dari satu tahap ke tahap berikutnya ditentukan oleh keberhasilannya atau ketidak-berhasilannya dalam menempuh tahap sebelumnya. Di mana setiap tahap memiliki tujuan dan kebutuhan perkembangannya. Menariknya, selain kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan), pemenuhan afeksi menjadi yang utama.
Berbagai studi ilmiah telah membuktikan bahwa afeksi berdampak signifikan terhadap perkembangan seorang anak baik fisik, kognitif, emosi, dan sosial, yang kemudian ini menjadi fondasi karakter, cara pandang, dan tindakan-tindakannya di masa depan.
Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Universitas Notre Dame di Indiana, AS (2015) kepada lebih dari 600 orang dewasa menunjukkan orang dewasa yang menerima lebih banyak kasih sayang di masa kanak-kanak, menunjukkan lebih sedikit depresi dan kecemasan dan lebih penyayang secara keseluruhan. Mereka yang melaporkan kurang kasih sayang berjuang dengan kesehatan mental, cenderung lebih mudah kesal dalam situasi sosial, dan kurang terbuka pada perspektif orang lain.
Viska, yang merupakan pemerhati masalah anak itu menyatakan, tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anak-anaknya. Yang sering menjadi persoalan adalah kasih sayang yang tidak diekspresikan secara tepat sehingga tidak diterima anak sebagai afeksi.
Misalnya, orang tua menganggap bahwa memarahi anak adalah bentuk kasih sayang, tapi menurut anak sebaliknya.
Atau kasih sayang yang orang tua ekspresikan tidak sambung dengan value atau tujuan pengasuhan yang ingin dilatihkan pada anak. Misalnya, orang tua ingin melatih anaknya bersikap disiplin, tapi orang tua banyak berkompromi dengan perilaku-perilaku anak yang tidak disiplin sebagai bentuk kasih sayang diekspresikan. Hal ini tidak konsisten yang berdampak anak jadi tidak mampu menangkap secara jelas, nilai apa yang sebenarnya ingin orang tuanya ajarkan.
“Kedua hal ini hanya bisa diselesaikan dengan satu hal, yakni dialog,” ujarnya.
Ini yang sebenarnya menjadi tantangan di era ini. Dialog membutuhkan ruang interaksi dan juga hati. Hal ini makin sulit karena orang tua semakin disibukkan dengan pekerjaan, anak-anak sibuk dengan sekolah dan aktivitasnya. Viska pun prihatin, karena faktanya baik orang tua dan anak-anak, semakin diasyikkan dengan gawainya masing-masing.
Resesi akhlak
Betapa ancaman resesi akhlak membutuhkan perhatian bersama, sebab generasi tidak berakhlak berpotensi meruntuhkan peradaban bangsa. Tingginya angka kriminalitas dan maraknya tindak pidana korupsi adalah contoh nyata di depan mata, sebagai indikasi ketiadaan akhlak dalam diri para pelaku.
Sebagaimana Menteri BUMN Erick Thohir menyebut ‘Ga ada akhlak’ kepada mereka yang berperilaku koruptif, mengelabuhi pajak, menimbun barang kebutuhan masyarakat, dan tindak tidak terpuji lainnya yang merugikan negara dan juga rakyat.
Anak-anak sekarang adalah calon pemimpin di masa depan. Contoh buruk yang sedang dipertontonkan para pejabat tak punya akhlak itu tentu jangan sampai menular ke generasi berikutnya. Perilaku buruk itu mesti diakhiri sampai di sini. Anak-anak perlu memperoleh proteksi dari paparan pengaruh buruk yang berkecamuk di sekitarnya.
Momen peringatan Hari Anak Nasional bisa menjadi refleksi untuk kembali mengutamakan pendidikan karakter, budi pekerti, dan akhlak.
Sebab semua kehebatan anak menjadi percuma bila "ga ada akhlaknya".
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023