"Kalimat yang tidak berupa tuduhan ataupun menyalahkan mereka sehingga anak ini bisa percaya dengan kita dan mereka bisa mengeluarkan semua isi hati, bisa kita dampingi untuk pulih," ujar pakar kejiwaan subspesialis anak dan remaja yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia dr. Anggia Hapsari, Sp.K.J, Subsp. A.R.(K) secara daring, Jumat.
Anggia yang lulusan Universitas Indonesia itu berpendapat menggunakan kalimat yang jelas merupakan salah satu cara meminimalisasi dampak yang dialami anak korban kekerasan khususnya secara daring akibat penggunaan internet dan gawai tanpa disertai kemampuan penilaian dan pengendalian yang baik.
Menurut dia, orang tua, guru atau orang dewasa bisa membantu anak menceritakan atau melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya. Mereka harus dapat mengobservasi perubahan perilaku anak.
"Lihat hasil akademik, misalnya ada tidaknya prestasi yang menurun, menarik diri tidak mau ikut kelompok dan sebagainya, bagaimana berelasi dengan teman-teman apakah mudah marah, tersinggung dan lainnya," kata Anggia.
Baca juga: Akademisi: Masyarakat harus laporkan pelaku kejahatan digital medsos
Khusus untuk pencegahan terkait penggunaan internet bermasalah, orang tua bisa mendampingi anak ketika menggunakan internet. Sekarang ini ada berbagai panduan bagi orangtua guna mengetahui apa yang anak buka dalam gawai mereka.
Orang tua juga disarankan melakukan pemeriksaan secara berkala pada kegiatan daring anak.
Anggia memberikan rekomendasi durasi waktu paparan layar gawai pada anak berdasarkan usia. Pada anak 0-18 bulan disarankan sama sekali tidak boleh menggunakan gawai kecuali saat tertentu misalnya melakukan panggilan video, yang tetap harus didampingi orang tua.
Pada anak usia 18-24 bulan, disarankan durasi minimal penggunaan gawai. Kalaupun ingin mengenalkan anak pada gawai, pilihlah aplikasi yang menggunakan interaksi dua arah dan pastikan dengan pendampingan orang tua dan waktunya pun sangat terbatas.
Pada anak usia 2-5 tahun, penggunaan gawai dibatasi maksimal satu hari satu jam dengan pembagian dua kali 30 menit. Pilihlah aplikasi yang interaktif dan dapat meningkatkan fokus anak serta keterampilan anak dalam berinteraksi dengan orang lain.
Orang tua masih perlu mendampingi anak usia 2-5 tahun ketika menggunakan aplikasi.
Baca juga: Budaya berpikir sebelum bertindak di medsos cegah perundungan siber
Kemudian, pada usia 6-12 tahun, anak sudah bisa menggunakan gawai secara mandiri, tetapi, orang tua tetap perlu memastikan aplikasi apa saja yang mereka buka dan mengawasinya.
"Ketika hari-hari sekolah, mereka hanya bisa menggunakan dua jam maksimal screen time (penggunaan gawai) saat mereka tidak belajar atau waktu luang. Saat akhir pekan mereka bisa menggunakan tiga sampai empat jam, terbagi misalnya empat kali satu jam, harus didampingi orangtua," kata Anggia menjelaskan.
Pada periode usia selanjutnya yakni 12-15 tahun, anak sudah memasuki praremaja. Orang tua, kata Anggia, bisa memberikan batasan terkait apa saja yang boleh mereka akses atau tidak boleh mereka akses.
Orang tua juga harus memastikan kegiatan mengakses gawai tidak sampai menyebabkan adiksi dan pastikan interaksi dengan anak lain tetap ada.
"Orangtua mungkin bisa menerapkan di rumah area bebas gawai dan waktu kapan saja bisa bebas gawai," demikian saran Anggia.
Baca juga: Anak di daerah juga punya risiko tinggi terkait kasus kekerasan daring
Baca juga: Akademisi: Anak harus diberi pemahaman bahaya perundungan
Baca juga: Anak rentan alami adiksi perilaku bila gunakan internet berlebihan
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2023