...terobosan yang lebih inklusif lagi sebetulnya ketika perancang busana bisa mengolah kembali material atau bahan kain dari pakaian bekas yang tidak lagi terpakai untuk membuat busana baru.

Jakarta (ANTARA) - Desain yang mudah dikenakan siapa saja dan kapan saja agar terbuka bagi siapa saja dan kapan saja (inklusif) menjadi sesuatu yang ditawarkan para perancang busana untuk lingkungan melalui Jakarta Fashion and Food Festival (JF3) sejak 17 hingga 19 Juli 2023.

Perancang busana Danjyo Hiyoji Dana Maulana dan Michael Simiadi mengatakan mesti memikirkan kemudahan pengguna saat merancang busana untuk JF3, agar busana itu dapat dipakai bergaya pada setiap suasana, baik harian maupun dalam momen tertentu.

Mengenai warna, Michael lebih suka yang cerah dan ceria. Sedangkan Dana menyukai warna yang 'sporty look' seperti hijau mint, kelabu tua, dan biru berdebu.

Menurut mereka, persiapan rancangan busana itu dimulai sejak tiga bulan lalu, ketika panitia JF3 menyampaikan konsep yang seru untuk acara peragaan busana pada 2023, yaitu lokasinya di tempat parkir mal.

Saat mendengar konsep acara peragaan busana di JF3, Dana dan Michael langsung terpikir untuk membuat rancangan yang bisa membuat orang lain langsung jatuh cinta. Sebagaimana konsep acara peragaan busana di JF3 2023 yang membuat Dana dan Michael langsung jatuh cinta saat mendengarnya untuk pertama kali.

Perbedaan warna yang disukai justru menjadikan rancangan Dana dan Michael menyatu saat mempersiapkan busana untuk acara tersebut.

Tak hanya soal warna, Dana dan Michael memiliki banyak perbedaan soal pemilihan aksesoris serta pola pada busana. Namun, mereka tetap bisa menghasilkan sekitar 46 koleksi busana untuk ditampilkan di JF3 2023.

Kuncinya, inklusivitas bagi mereka ialah jangan meruncingkan perbedaan namun menyatukan nilai-nilai perbedaan yang ada menjadi suatu harmoni kehidupan yang menyenangkan.

Salah satu yang menggunakan rancangan Michael dan Dana ialah Rifaldy Pratama, selebritas dengan pengikut lebih dari 152 ribu di Instagram, Bondol JPG.

Selebritas yang terkenal dengan jargon TBL (Takut Banget Lo) itu melangkah santai dengan setelan jas dan celana ungu berukuran lebih besar (plus size) serta kemeja berkilau keunguan rancangan Michael dan Dana di area parkir lantai dua Summarecon Mal Serpong, Tangerang, Banten, Rabu (19/7).

Baca juga: JF3 "sulap" parkir mal di Tangerang dan Jakut jadi arena "catwalk"

Peduli Lingkungan

Kebanyakan busana yang berukuran lebih besar atau 'plus size' memang menjadikan rancangan Dana dan Michael semakin inklusif karena tak perlu membuat pemakainya khawatir mesti 'membuang pakaian' ketika ukuran tubuh bertambah lebar.

Namun, terobosan yang lebih inklusif lagi sebetulnya ketika perancang busana bisa mengolah kembali material atau bahan kain dari pakaian bekas yang tidak lagi terpakai untuk membuat busana baru.

Solusi tersebut akan sangat berarti bagi para pecinta lingkungan. Dana mengatakan jenama dan desainer lokal pada umumnya berpartisipasi dalam aksi peduli lingkungan dengan tidak ikut-ikutan memproduksi secara cepat dan murah, tapi menghasilkan busana yang harus bisa dicintai penggunanya.

Harga dan proses membuatnya (supaya dicintai) tidak murah, sehingga kembali lagi, menurut Dana, yang paling penting adalah peningkatan keberpihakan terhadap produk lokal secara bersama-sama.

Jangan sampai kepedulian yang timbul terhadap limbah fesyen yang mencemari lingkungan bersifat sepihak sehingga menjebak jenama-jenama atau desainer-desainer lokal menjadi tidak bisa berkembang.

Dia berharap dengan keberpihakan yang dibangkitkan, warga Indonesia akan menghargai karya-karya yang dihasilkan jenama dan desainer lokal yang berkualitas baik serta bisa terus terpakai, daripada yang mudah terbuang dan mencemari lingkungan.

Ketika jenama dan desainer lokal berkualitas baik itu berkembang, harapannya melahirkan keberpihakan produsen produk lokal terhadap daur ulang limbah produknya, bahkan lebih baik jika memiliki kemampuan mengolah limbah dalam skala besar.

Baca juga: Gubernur: Limoff langkah nyata NTB jadi pusat fesyen muslimah nasional

Sejumlah model menampilkan kain batik bertema dari senja hingga subuh (from dusk till dawn) koleksi perancang busana Helen Dewi Kirana di atas panggung Jakarta Fashion and Food Festival (JF3), Selasa (18/7/2023). ANTARA/Abdu Faisal

Sementara itu, perancang busana Nes Helen Dewi Kirana menampilkan konsep kain batik dari senja hingga subuh di atas panggung festival makanan dan busana Jakarta (Jakarta Fashion and Food Festival/JF3) dalam rangka membawa misi lingkungan.

Helen menyadari tren busana yang berbeda seiring waktu memiliki dampak agak kurang baik bagi lingkungan karena menghasilkan pencemaran tekstil yang tidak sedikit, dari pewarna, kain, dan lain-lain.

Makanya tema 'from dusk till dawn' diangkat untuk menunjukkan bagaimana membuat barang yang sama bisa dipakai terus untuk gaya kasual sampai ke pesta pernikahan dan party yang lainnya.

Helen melalui koleksinya di JF3 ke-12 ini berusaha menunjukkan tidak ada yang salah dengan penggunaan berulang produk berbahan pakaian yang sama.

Dan kain batik dipilih dalam pertunjukan malam itu, karena selain menonjolkan produk warisan budaya Indonesia, Helen juga ingin menunjukkan bahwa kain buatan tangan (handmade) ini dapat dipadu-padankan dengan gaya busana kasual, tak harus formal.

Helen juga mengajak seluruh pihak ikut berperan dalam memaksimalkan isi lemari dengan konsep 'reused fashion' yaitu penggunaan busana terus-terusan, dipakai, pakai, dan dipakai lagi, supaya tidak terlalu banyak pakaian yang terbuang.

Baca juga: Mendag berkomitmen tingkatkan talenta muda bidang fesyen

Sejumlah model memperagakan koleksi busana rancangan Evi Natalia dan Afif Mustapa yang terbuat dari bahan kain daur ulang pakaian bekas yang ditampilkan di ajang JF3 2023 di Summarecon Mal Serpong, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (19/7/2023). ANTARA/Abdu Faisal

Di tempat yang sama, perancang busana dari Cipete Utara, Jakarta Selatan Evi Natalia justru memulai kepeduliannya terhadap isu pencemaran lingkungan oleh limbah fesyen dengan memproduksi pakaian dari bahan daur ulang

Ia juga mengadakan lokakarya merancang busana dari pakaian bekas pakai yang bisa diikuti oleh puluhan orang. Aktivitas itu bisa diikuti jika pengunjung JF3 mendatangi listening bar Subo di Cipete Utara, Jakarta Selatan.

Evi mengatakan teknik-teknik daur ulang pakaian bekas pakai yang diajarkan kepada masyarakat dalam lokakarya tersebut umumnya sudah dikenal sejak zaman nenek moyang kita, misalnya 'patchwork' atau teknik menggabungkan potongan kain perca yang memiliki motif dan warna berbeda menjadi bentuk baru agar umur penggunaan menjadi lebih panjang.

Bahan daur ulang yang digunakan dalam lokakarya tersebut berupa pakaian bekas pakai yang dikumpulkan dari donatur. Evi mengatakan pihaknya bisa mengumpulkan pakaian bekas pakai hingga mencapai 328 kilogram dari donatur.

Di antara pakaian bekas tersebut, ada yang masih layak pakai dan ada yang tidak layak pakai. Kendati sudah tidak layak pakai, Evi dan tim perancang busana Setali Indonesia masih bisa mengolah pakaian bekas tersebut dengan cara mencacah terlebih dahulu.

Terhadap pakaian yang masih layak pakai, Evi dan tim hanya perlu meningkatkan visualnya supaya lebih cerah dan bergaya mewah dengan cara membuat pola jahitan ala Jepang 'sashiko' dan teknik lanjutannya yang dinamakan 'boro'.

Teknik boro sendiri kalau diartikan dalam bahasa Indonesia merupakan upaya menyatukan kain perca dengan memori dalam pakaian compang-camping. Prosesnya mengandung memori atau kenangan karena biasanya dahulu kala, bolong-bolong pada pakaian yang ditambal akan memiliki kenangan tersendiri dalam benak penggunanya saat melihat bekas tambalan pada pakaian compang-camping itu.

Sekitar 30 koleksi busana dari daur ulang pakaian bekas itu pun dibawa ke Summarecon Mal Serpong, Tangerang, untuk ditampilkan saat peragaan busana JF3 pada Rabu (19/7).

Selain membantu perekonomian, fesyen daur ulang juga banyak menggunakan jumlah kain yang biasanya terbuang begitu saja. Alternatif pemanfaatan sisa kain dapat digunakan untuk menghasilkan produk pelengkap busana, seperti aksesoris dan millineris, yang termasuk pelengkap busana milineris adalah tas, sepatu, topi, ikat pinggang, syal, selendang, dan lain sebagainya.

Evi mengatakan untuk isian boneka ukuran 17x17 centimeter saja membutuhkan sekitar 300 gram kain.

Baca juga: Pameran busana JF3 bawa misi keberlanjutan lingkungan

Perancang busana dari Kebayoran Lama Afif Mustapa juga mendukung penggunaan bahan daur ulang dalam industri mode, mengingat besarnya porsi pencemaran limbah tekstil.

Menurut Afif, peran para perancang busana ControlNew saja mungkin baru bisa mengolah 0,00001 persen limbah tekstil yang mencemari lingkungan.

Namun sedikit atau banyaknya limbah yang bisa diolah, sebenarnya tujuan utama yang ingin dicapai adalah mempengaruhi masyarakat agar mengurangi sendiri jumlah pakaian yang terbuang.

Afif dan timnya sendiri membawa 10 koleksi busana pria dan lima busana wanita dari bahan daur ulang kain bekas untuk ditampilkan saat peragaan busana JF3 pada Rabu (19/7).

Pada 2022, berdasarkan data dari SIPSN (Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional) KLHK, tekstil menyumbang sekitar 2,54 persen dari total sampah nasional berdasarkan jenis sampahnya dengan estimasi mencapai 1,7 ribu ton per tahun.

Keberadaan JF3 yang reguler digelar setiap tahun merupakan salah satu cara mengangkat isu lingkungan yang terancam oleh industri fesyen kepada masyarakat dengan dorongan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Banten dari dinas terkait seperti dinas perindustrian perdagangan, pariwisata dan ekonomi kreatif, kebudayaan.

'Power to empower', adalah tema yang dipilih tahun ini karena ini saatnya JF3 untuk bergerak mengajak berbagai pihak untuk bersama-sama melakukan sesuatu agar kreativitas pelaku industri fesyen di Indonesia dalam membuat karya-karya busana ramah lingkungan bisa lebih baik lagi.

Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023