Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis anak subspesialisasi hematologi onkologi dari RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) Dr. dr. Novie Amalia Chozie, SpA(K) mengatakan pasien hemofilia bisa mengalami disabilitas jika pendarahan di sendi atau otot tidak diatasi dengan sempurna.

"Disabilitas itu terjadi kalau pendarahan di sendi atau di otot tidak diatasi dengan sempurna, sehingga lama-lama bisa menjadi rusak sendi atau ototnya," kata Novie saat berbincang bersama media yang digelar oleh Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) di Jakarta, Kamis.

Hemofilia merupakan penyakit gangguan pembekuan darah genetik yang disebabkan oleh kurangnya faktor pembekuan darah dalam tubuh. Gejala hemofilia di antaranya pendarahan pada luka yang sulit berhenti, mudah memar, hingga nyeri dan bengkak pada sendi siku dan lutut.

Menurut Novie, disabilitas lebih banyak terjadi pada pasien hemofilia dengan derajat berat. Meski demikian, kondisi tersebut juga tetap bisa terjadi pada semua derajat hemofilia.

"Pada yang ringan bisa, kalau dia tidak mendapatkan terapi yang benar. Tapi memang risikonya lebih besar pada yang berat," ujar Novie.

Baca juga: Mencegah pendarahan aspek penting tanggulangi hemofilia

Novie menuturkan, ada dua hal yang dapat mempercepat pasien hemofilia mengalami disabilitas, yakni dari sudut pasien dan dari sudut penanganan yang didapatkan.

Dari sudut pasien, menurut Novie, selain derajat penyakit, ketidakpatuhan pasien dalam berobat serta aktivitas yang dilakukan pasien juga dapat mempercepat terjadinya disabilitas.

"Kadang-kadang kita sudah memberikan edukasi misalnya harus disuntik setiap 12 jam, tapi saya tahu anak-anak banyak yang enggak mau disuntik dua kali sehari, maunya sekali saja. Atau misalnya disuruh istirahat dulu, jangan dulu dipakai jalan kakinya. Tapi namanya anak-anak, susah, tetap lari ke sana-sini," kata Novie.

"Kemudian ada faktor-faktor risiko lain, misalnya pada pasien yang punya inhibitor, itu pasti lebih sulit lagi. Jadi kemungkinan terjadinya pendarahan (lebih tinggi) dan penanganannya pun lebih susah," lanjut dia.

Baca juga: Akses pengobatan tingkatkan kualitas hidup pasien hemofilia

Sedangkan dari segi penanganan, menurut Novie, bisa terjadi jika dosis obat yang diterima oleh pasien kurang dari dosis yang seharusnya.

"Kenapa dosisnya kurang? Misalnya, kebetulan dijaminnya untuk di rumah sakit itu hanya sekian, enggak bisa lebih, jadi dosisnya diberikan sesuai dengan biaya yang tersedia, padahal dosisnya kurang. Itu sering terjadi," ujar Novie.

"Selain itu, kesulitan masalah penyuntikan dan sebagainya juga bisa terjadi. Lalu pasien yang tinggalnya jauh di pelosok, jauh dari rumah sakit yang punya faktor pembekuan, itu juga jadi masalah," imbuhnya.

Kemudian, pengetahuan dan keterampilan dokter dalam menangani hemofilia juga bisa berpengaruh.

Oleh karena itu, kepatuhan pasien hingga penanganan yang tepat oleh dokter yang kompeten di bidangnya sangat penting dalam penanganan penyakit hemofilia.

Mengenai tatalaksana hemofilia, Novie mengatakan saat ini telah banyak terapi yang berkembang dan dapat digunakan mulai dari terapi profilaksis melalui pemberian konsentrat faktor pembekuan darah hingga terapi non-faktor seperti emicizumab dan terapi gen.

Baca juga: Apakah hemofilia bisa disembuhkan?

Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2023