"Sumber hukum nantinya, bisa diambil dari hukum adat, hukum Islam dan hukum eks kolonial Belanda," kata Yusril Izha Mahendra saat Seminar Nasional "Kearifan Lokal dan Hukum Adat dalam Meningkatkan Tertib Hukum Masyarakat" di Pontianak, Rabu.
Yusril menjelaskan, hukum adat itu kaidah-kaidah normatif yang ada dalam adat yang seyogianya dapat ditarik rumusan umumnya lalu kemudian dituangkan dalam kaidah hukum nasional.
"Itulah yang saya pikir, berbeda dengan apa yang dibayangkan orang seolah-olah memproteksi hukum adat," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Barat, Cornelis, meminta lembaga adat tidak mengambil peluang dalam menerapkan denda yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hukum adat setempat, sehingga terkesan memeras.
"Jangan terkesan menjadi alat untuk memeras, karena kalau seperti itu, menjadikan lembaga adat tidak berwibawa," kata Cornelis
Menurut Cornelis, tindakan seperti itu membuat lembaga adat menjadi tidak mengakar, dan menjadi tidak berarti dihadapan kelompok masyarakat yang lain.
Ia menegaskan, efek dari hukum adat bukanlah mengenai jumlah yang harus dibayarkan. "Melainkan dampak secara moral bagi yang terkena hukum adat, biarpun hanya membayar denda yang paling ringan, di kalangan Dayak, berupa tujuh butir beras dan kunyit, namun apa yang menjadi keputusan harus dilaksanakan" tuturnya.
Kepala Divisi Hukum Mabes Polri, Irjen Pol Anton Setiadji mengatakan, ada tiga tradisi normatif yang menjadi dasar dalam budaya hukum Indonesia yakni hukum adat pribumi, hukum Islam, dan hukum sipil Belanda.
Ia menilai, hukum adat sepatutnya diletakkan sebagai pondasi dasar struktur hirarki tata hukum Indonesia.
"Di dalam hukum adat itulah, segala macam aturan hukum positif Indonesia mendasarkan diri dan mengambil sumber substansinya," ujar Anton yang mewakili Kapolri Jendral Pol Timur Pradopo.
Pewarta: Andilala
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013