Jakarta (ANTARA) - Budayawan sekaligus Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI) Ngatawi Al-Zastrouw mengatakan tahun baru Hijriah identik dengan perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah menuju Madinah.


Hijrahnya Nabi Muhammad SAW menuju Madinah itu, kata Ngatawi, membawa perubahan positif karena bisa membangun masyarakat yang beradab dan toleran, walaupun di Madinah terdapat berbagai suku, agama, dan golongan.

Ngatawi dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Rabu menjelaskan bahwa makna hijrah adalah konsistensi pada perjuangan yang membutuhkan proses. Semangat berhijrah selayaknya dilakukan tanpa perlawanan frontal, agar tidak merusak tatanan sosial yang ada.

"Jangan karena mau hijrah, terus kemudian menabrak lingkungan, aturan, hukum alam, hukum sosial, atau norma yang berlaku. Hal seperti itu tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW," ucapnya.

Baca juga: Puan ajak jadikan Tahun Baru Islam momentum pupuk kepedulian
Menurutnya, perjuangan hijrah harus dilakukan dengan cara yang baik, strategis, dan melalui perhitungan yang matang, baik perhitungan rasional, material, maupun situasional.

Lebih jauh Ngatawi memerinci, terdapat tiga makna dari semangat hijrah. Pertama, perjuangan harus dilakukan dengan menanggung risiko, baik fisik maupun nonfisik.

Makna kedua, perjuangan harus melalui proses, baik proses sosial maupun kultural. Ketiga, perjuangan membutuhkan konsistensi dan komitmen, sebab tidak ada perjuangan yang instan.

Ia pun menyoroti fenomena "hijrah milenial" yang santer dibicarakan di media sosial. Menurut Ngatawi, seharusnya "hijrah milenial" dalam cakupan format atau bentuk sangat relevan dengan realita yang ada.

Namun pada praktiknya, tidak semua aktualitas atau pengalamannya sesuai dengan keadaan. Ngatawi menyayangkan apabila semangat berhijrah hanya diartikan sempit pada lingkup ritual dan simbol keagamaan semata.

"Bahwa dalam agama ada simbol, mekanisme, dan ritual tertentu, iya. Tetapi sikap hijrah yang hanya berpaku pada hal-hal yang sifatnya simbolik formal, ini yang membuat agama menjadi alat segregasi sosial. Sebagai contoh, jika ada yang tidak sesuai dengan simbol atau pemikirannya, akhirnya dikucilkan atas nama ‘hijrah milenial', ini yang tidak sesuai,” imbuhnya.

Proses hijrah yang didasari semangat positif, tambah Ngatawi, sejatinya bisa dilakukan dengan cara yang menyenangkan. Misalnya, komunitas anak muda yang memakai tagline "hijrah milenial", seperti Komunitas Musisi Ngaji (KOMUJI).

"Hanan Attaki juga ketika baru-baru ini dia berkumpul dengan ulama-ulama NU, dia menyadari bahwa ajaran dan spirit agama bisa dilakukan dengan pendekatan yang lebih fungsional dan menyenangkan, tanpa mengabaikan simbolisme dan ritualisme agama,” sambung dia.

Menurutnya, gerakan "hijrah milenial" akan menjadi kontekstual dengan realitas sekarang selama bisa menghayati dan memahami persoalan khilafiyah (perbedaan tafsir) yang ada di dalam Islam.

Kemudian, gerakan hijrah milenial tersebut diharapkan Ngatawi bisa mendudukkan persoalan secara tepat, sehingga membawa manfaat luas.

"Harapannya, orang yang mengaku telah berhijrah bisa menampilkan sikap beragama yang lebih inklusif, toleran, moderat dan maslahah," ucapnya.

Ngatawi berpesan, spirit hijrah harus bisa menjebol sekat dan dinding segregasi sosial yang ada di tengah masyarakat.

"Dinding-dinding ini tidak terlihat, tapi ada. Tidak terwujud, tapi terasa. Ini adalah side impact dari perkembangan teknologi informasi, walaupun kita tidak pungkiri memiliki manfaat yang besar," katanya.

Perkembangan teknologi, katanya, juga perlu dikendalikan untuk menghindari perpecahan fan gesekan yang memicu konflik horizontal.

"Saya berharap pada tahun baru Hijriah ini, kita semua sebagai masyarakat Indonesia, khususnya generasi mudanya, mengikis segregasi sosial supaya kehidupan, interaksi, dan persaudaraan kita menjadi lebih kuat dan menyenangkan," ucap dia.


Baca juga: Imam Besar ajak umat Islam teladani toleransi Umar bin Khattab
Baca juga: Muhammadiyah: Jadikan tahun baru Islam momentum lakukan pembaruan

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2023