Publik bola diharapkan untuk tidak berpikir, karena beranggapan "terima saja, apa yang telah saya katakan dan putuskan, bila ingin selamat". Inilah krisis makna yang hinggap di kantong Ferdinand dan Ferguson

Jakarta (ANTARA News) - Ngotot mematut-matut diri ingin terus membela Timnas Inggris, bek tengah Manchester United (MU) Rio Ferdinand sedang melawan dirinya sendiri di kaca benggala bertuliskan "cukup adalah cukup".

Manajer skuad "Three Lions", Roy Hodgson menyebut bahwa pemain berusia 34 tahun itu gagal mencapai target latihan dan program kesehatan yang telah dirancang oleh timnas negeri itu.

Serta merta, Ferdinand mencak-mencak kemudian menghimpun kekuatan untuk mengganyang balik keputusan Hodgson.

Bek tengah MU itu tiba-tiba tebar pesona di kalangan anak muda Inggris dengan menonton konser boy band "One Direction" di Manchester. Ia berharap hati publik Inggris lantas meleleh kemudian mencerca Hodgson sebagai pelatih yang tidak becus.

Kisruh Ferdinand menyulut komentar pro dan kontra. Frank Lampard menilai bahwa bek tengah MU itu "belum selesai". "Saya tidak tahu soal masa depannya di timnas akan seperti apa, tetapi penampilannya konsisten. Ia tergolong pemain belakang terbaik di Liga Inggris," kata Lampard.

Tersulut prahara Fardinand itulah, ingatan publik terseret kepada peristiwa masa lampau dengan melontarkan pernyataan, apakah penolakan Hodgson ini dilatarbelakangi dendam lawas? Pujangga Latin klasik Seneca menulis, "imago animi sermo est" (bahasa itu cermin dari hati).

Manajer timnas Inggris itu terkena tulah "mulutmu adalah harimaumu". Pada 3 Oktober 2012, Hodgson pernah berujar saat berada di sebuah kereta bawah tanah bahwa dirinya tidak akan lagi memanggil Ferdinand ke timnas Inggris.

Setelah media massa Inggris membawa gada berupa ulasan-ulasan kritis, Hodgson kemudian memohon maaf kepada Ferdinand. Dan manajer timnas Inggris itu kemudian menepuk dadanya tiga kali seraya berucap, "mea culpa, mea culpa" (ini kesalahanku, ini kesalahanku).

Soalnya, apakah memang timnas Inggris benar-benar memerlukan Ferdinand untuk menempati posisi bek tengah? Mantan penjaga gawang timnas Inggris, Peter Shilton menyatakan, "Saya berpendapat Rio hendaknya tidak kembali ke timnas. Kita harus menoleh ke masa depan."

Shilton yang telah tampil sebanyak 1.005 dalam ajang Liga Inggris, dan pensiun dalam usia 31 tahun pada 1997 itu, kembali mengatakan, "Masanya telah lewat. Kita harus memberi kesempatan kepada para pemain muda."

Seakan hendak berkata "cukup adalah cukup" kepada Ferdinand, pendapat Shilton itu merujuk kepada sejumlah bek tengah Inggris.

Sebut saja, Joleon Lescott , Phil Jagielka, Gary Cahill, Phil Jones, Chris Smalling, Ryan Shawcross, Steven Caulker, Steven Taylor. Hanya saja ada warta teranyar bahwa Gary Cahill dan Michael Dawson mengundurkan diri karena masih dibekap cedera.

Ungkapan cukup adalah cukup dialamatkan kepada Ferdinand bukan karena Hodgson mau menghidupi dendam masa lampau. Hodgson telah meminta kepada Ferdinand agar membuang jauh-jauh drama perselisihannya dengan Ashley Cole soal pernyataan John Terry yang berbau rasis.

Ferdinand geram dengan Cole. Alasannya, Cole membela Terry dalam kasus rasisme yang menimpa adik Rio, Anton. Tidak ada alasan bahwa Hodgson bersikap mau menang sendiri ketika merespons prahara yang menimpa Ferdinand.

Publik Inggris lantas teringat sebuah peristiwa ketika MU kalah agregat 2-3 dari Real Madrid dalam ajang Liga Champions. Ketika itu, Ferdinand bersikap sarkastis dengan menuding-nuding wasit asal Turki Cuneyt Cakir yang mengusir ke luar lapangan Nani.

Di mata Cakir, pemain MU itu telah menghalangi gerak Alvaro Arbeloa pada menit ke-56. Pasukan Setan Merah terdepak, dan manajer Alex Ferguson menolak hadir dan berbicara dalam jumpa pers. Tidak ada satu pun pemain United juga berbicara kepada media.

Apakah tergusurnya Ferdinand dari timnas Inggris itu memenuhi ungkapan bahwa sejarah senantiasa berulang?

Ada sedikit keganjilan, manakala Ferguson merespons soal Ferdinand. Krisis kepemimpinan menimpa Ferguson dan Ferdinand. Iniah salah satu soal yang menjadi pertimbangan Hodgson tidak memanggil Ferdinand, selain alasan tidak lulus tes kesehatan.

Manajer gaek asal Skotlandia itu meminta kepada Inggris agar senantiasa ekstra hati-hati menjaga kondisi Ferdinand. Di mata Fergie, kepiawaian staf medis MU membuat Ferdinand mampu tampil sebagai defender handal.

Jika engkau ingin bicara, belajarlah lebih dulu untuk berdiam (vis loqui, disce tacere prius), ungkapan Latin klasik yang pantas didengar dan dicamkan baik oleh Ferdinand maupun Ferguson. Sementara Hodgson berujar, belajar dan bertindaklah dengan berpedoman "cukup adalah cukup".

Ketika dunia telah dirasuki norma bahwa gapailah prestasi setinggi langit, maka ungkapan "cukup adalah cukup" dianggap sebagai norma ketinggalan jaman bahkan terkesan kurang macho.

Maju terus pantang mundur, itulah mata uang yang berlaku untuk membaca lokomotif jaman. Yang penting, maju terus dengan mengatasnamakan loyalitas. Pertimbangan ini yang dipegang oleh Ferdinand dan dianut oleh Ferguson.

Aras nama loyalitas? Alan Shearer mengundurkan diri pada usia 29 tahun dari timnas Inggris karena ia "ingin tetap tampil tajam dan tampil tidak setengah-setengah bagi Newcastle". Paul Scholes, dengan alasan masih banyak talenta Inggris, akhirnya mengundurkan diri dalam usia 29 tahun meski ia masih setia membela United.

Sepak bola modern memang membutuhkan asupan gizi kepercayaan diri. Sebagai pesepakbola, Ferdinand ingin tetap tampil kinclong membela timnas Inggris.

Apakah loyalitas mampu membenarkan sikap ngotot Ferdinand, dan sikap tidak peduli Ferguson untk hadir dalam jumpa pers pasca laga melawan Real Madrid?

Ferdinand, Ferguson dan Hodgson sama-sama berada dalam pusaran makna. Ferdinand dan Ferguson mengalami krisis makna. Keduanya mencampuradukkan idea dengan konsep. Idea selalu bersifat subyektif, atau "sebagaimana yang saya anggap benar adanya".

Dengan beranggapan bahwa bahwa "saya benar, anda keliru", maka idea selalu tergantung kepada "siapa yang memikirkan dan mengatakan".

Kedua sosok di kubu United itu selalu mencari kambing hitam, dengan menyatakan wasit keliru, atau Hodgson tidak becus.

Meminjam istilah pemikir Amerika Latin, Paulo Freire, baik Ferdinand maupun Ferguson berperilaku sektarianisme di laga bola. Ciri-ciri sektarianisme, yakni amat emosional, tidak kritis, angkuh, antidialog.

Publik bola diharapkan untuk tidak berpikir, karena beranggapan "terima saja, apa yang telah saya katakan dan putuskan, bila ingin selamat". Inilah krisis makna yang hinggap di kantong Ferdinand dan Ferguson.

Sebagai manajer timnas Inggris, Hodgson mengetahui dan menerapkan makna sesungguhnya dari konsep.

Kesejatian konsep, bukan lagi menekankan siapa yang mengatakan, tetapi lebih menyentuh "apa" yang hendak dikatakan dan hendak ditinjau secara kritis, atau didialogkan. Dan Hodgson mengambil posisi sebagai manajer yang siap berdialog secara kritis.

Hodgson segera bertemu dengan Ferdinand setelah sebelumnya kedua orang itu tidak saling bersua selama 10 bulan.

"Saya telah mengecewakan Rio karena tidak mengutarakan rincian hasil program latihan. Saya senang bila dapat bertemu dengan dia," kata manajer Timnas Inggris itu.

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2013