Solo (ANTARA) - Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudtistek, Hilmar Farid menyatakan adanya pemahaman yang tidak merata, terutama pada pemerintah di tingkat kecamatan menjadi penghambat implementasi Kartu Tanda Penduduk (KTP) baru bagi para Penghayat Kepercayaan.
“Memang dalam implementasi ada tantangan di sana sini, dalam artian aparatur di lapangan di tingkat kecamatan pemahamannya belum semua merata,” katanya di Solo, Jawa Tengah, Rabu.
Hilmar menuturkan pemerintah di tingkat kecamatan belum banyak yang memahami terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang yudicial review Undang-Undang Administrasi Kependudukan.
Baca juga: Kemendikbud serahkan KTP Penghayat Kepercayaan di Festival Budaya Solo
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 memperbolehkan para penganut aliran kepercayaan untuk mencantumkan keyakinannya pada kolom agama di Kartu Keluarga (KK) dan KTP.
Dengan adanya putusan MK tersebut, kolom agama pada KTP para Penghayat Kepercayaan tertulis Kepercayaan Terhadap Ketuhanan YME dari yang sebelumnya mereka tidak memberikan keterangan maupun memilih satu dari enam agama yang diakui di Indonesia.
Hilmar menjelaskan masih banyak pemerintah di tingkat kecamatan maupun kabupaten/kota yang mempertanyakan boleh atau tidaknya ketika ada Penghayat yang ingin mengubah KTP mereka.
“Pemahaman yang tidak merata mengenai regulasi yang berlaku, kadang-kadang dari Dukcapil ada pertanyaan apa kah boleh. Kalau belum mendapat dari atasan langsungnya (mereka tidak mau mencetakkan KTP baru), biasanya itu menghambat proses,” katanya.
Oleh sebab itu, Kemendikbudristek terus melakukan sosialisasi dan komunikasi mengenai kebijakan ini kepada para kepala daerah hingga ke tingkat kecamatan, mengingat ternyata mereka belum mendapat informasi yang lengkap.
Baca juga: Jumlah penghayat kepercayaan di Jawa Barat 3.910 orang
Baca juga: Dua warga ajukan pencantuman penghayat kepercayaan di e-KTP
Hilmar menyadari kebijakan ini tidak akan bisa serentak diterima oleh seluruh masyarakat, sehingga pemerintah pusat memilih melalui proses sosialisasi agar masyarakat umum maupun pemerintahan bisa menerima para Penghayat Kepercayaan.
“Pasti semua memerlukan proses dan kita memilih jalan yang soft, yang betul-betul mengutamakan penerimaan dulu, karena pengakuan tanpa penerimaan tidak lengkap,” ujarnya.
Meski demikian, kata Hilmar, sejauh ini tidak ada perlawanan atau ketidaksetujuan dari masyarakat luas terhadap KTP baru bagi Penghayat Kepercayaan ini.
“Sejauh ini tidak, perlawanan dalam pengertian tidak mengizinkan itu tidak ada. Ini kan soal konstitusi, bukan soal keinginan inovasi dari kita, tapi sudah ada keputusan MK dan kami menekankan hak konstitusionalnya,” katanya.
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023