membuat tren, bukan mengikuti tren
Jakarta (ANTARA) - Kain batik dari senja hingga subuh koleksi perancang Helen Dewi Kirana yang ditampilkan di atas panggung festival makanan dan busana Jakarta (Jakarta Fashion and Food Festival/JF3) membawa misi lingkungan melalui produk-produk yang ditampilkan.
Helen menyadari tren busana berbeda di waktu pagi dan malam memiliki dampak agak kurang baik bagi lingkungan karena menghasilkan pencemaran tekstil yang tidak sedikit, dari pewarna, kain, dan lain-lain.
"Makanya tema 'from dusk till dawn' kami sebenarnya ingin menunjukkan bahwa barang yang sama bisa kamu pakai terus untuk gaya kasual sampai ke pesta pernikahan dan party yang lain pun bisa," kata Helen saat diskusi JF3 bersama wartawan di Jakarta Utara, Selasa.
Baca juga: Karya Bali Fashion Parade 2023 gunakan 80 persen produk UMKM lokal
Baca juga: APPMI tingkatkan mutu pelaku fesyen peserta IFW 2023
Helen melalui koleksinya di JF3 ke-12 ini berusaha menunjukkan tidak ada yang salah dengan penggunaan berulang produk berbahan pakaian yang sama.
Dan kain batik dipilih dalam pertunjukan malam itu, karena selain menonjolkan produk warisan budaya Indonesia, Helen juga ingin menunjukkan bahwa kain buatan tangan (handmade) ini dapat dipadu-padankan dengan gaya busana kasual, tak harus formal.
Adapun target pemakai kain batik koleksi senja hingga subuh dari Nes by HDK (Helen Dewi Kirana) memiliki rentang usia 20 sampai 30 tahun. Meski umumnya penyuka kain batik di Indonesia berusia di atas 30 tahun.
"Kami mencoba membuat tren, bukan mengikuti tren. Misinya harus lingkungan. Pilarnya empat, education, environment, women empowerment, dan children empowerment," kata Helen.
Teknik pembuatan busana koleksi NES by HDK antara lain pengikatan (tie-dye) asal Jepang yang disebut shibori dan pewarnaan khas nusantara salah satunya 'piring selampad' dengan memanfaatkan pewarna alami seperti salah satunya dari daun.
Alternatif pemanfaatan sisa kain dapat digunakan untuk menghasilkan produk pelengkap busana, seperti aksesoris dan millineris, yang termasuk pelengkap busana milineris adalah tas, sepatu, topi, ikat pinggang, syal, selendang, dan lain sebagainya.
Helen juga mengajak seluruh pihak ikut berperan dalam meminimalkan isi lemari dengan konsep 'reused fashion' yang ditawarkan dalam koleksinya.
"Jadi pakai, pakai, pakai lagi, supaya enggak terlalu banyak pakaian yang terbuang. Kayaknya kasihan bumi kalau lebih banyak yang terbuang," kata Helen.
Pada tahun 2023 menjadi pertama kalinya JF3 digelar di luar Jakarta. JF3 di Serpong berlangsung lebih dulu dari 17-19 Juli, sedangkan di Kelapa Gading nanti berlangsung 21-26 Juli melibatkan total 59 desainer terkemuka.
Dengan mengusung tema Gaya Lokal Lebih Vokal JF3 berkomitmen mendukung industri tanah air dengan memberikan dampak positif dan nilai ekonomi yang lebih besar bagi seluruh pelaku mode yang terlibat.
Keberadaan JF3 yang reguler digelar setiap tahun merupakan salah satu cara mengangkat kreativitas masyarakat dengan dorongan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Banten dari dinas terkait seperti dinas perindustrian perdagangan, pariwisata dan ekonomi kreatif, kebudayaan.
Ini tujuannya membantu anak muda dalam dunia fesyen di Jakarta dan sekitarnya dalam mendorong usaha mereka lebih maju lagi. Kalau ada produk lokal mungkin nanti bisa dikurasi dicek kualitasnya atau dibina sampai mereka bisa mencapai standar yang diinginkan pasar.
'Power to empower', adalah tema yang dipilih tahun ini karena ini saatnya JF3 untuk bergerak mengajak berbagai pihak supaya sama-sama melakukan sesuatu agar kreativitas pelaku industri fesyen di Indonesia lebih maju lagi.
Salah satunya lewat kerja sama JF3 dengan kedutaan Prancis melalui pusat kebudayaan dan bahasa Prancis yang berada di bawah naungan Kedutaan Besar Prancis IFI, agar bisa mengundang desainer Prancis untuk berpartisipasi dalam kegiatan pameran tahun ini.
"Supaya kita banyak belajar, karena Paris tombaknya fesyen, kita bisa bertukar pikiran dan bekerja sama ke depannya," kata Advisor JF3 Thresia Mareta.
Kualitas produk pasti bisa meningkat karena akses, akses pasar, akses bahan baku, akses pendanaan, bisa didapatkan solusinya tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga banyak pihak dari luar negeri melalui program Pintu Incubator bekerja sama dengan IFI.
"Tahun lalu kami membawa dua brand lokal dan artisan tenun untuk ikut premiere show, kita bekali sebelum berangkat, sehingga matang dan siap, pergi engga zonk, sudah siap, punya kemampuan (terampil)," kata Thresia.
Baca juga: JF3 "sulap" parkir mal di Tangerang dan Jakut jadi arena "catwalk"
Baca juga: Menkop Teten sebut merek lokal harus punya karakter sendiri
Baca juga: MenKopUKM : Tren custom fashion peluang UMK kuasai pasar lokal
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2023