Piagam Madinah adalah prestasi luar biasa dalam sejarah peradaban Islam, ...

JAKARTA (ANTARA) - Perayaan Tahun Baru Hijriah selalu diwarnai dengan jargon-jargon semangat hijrah. Sementara, hijrah umumnya dimaknai sebagai perubahan, dengan beragama secara kaffah (total). Namun euforia berlebih dalam proses perpindahan gaya beragama kerap menimbulkan overdosis karena segala yang “terlalu” akan menjadi candu memabukkan.

Makna hijrah tentu saja bukan sekadar tentang seremoni migrasi seperti peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw. dari Mekkah ke Madinah pada Juni tahun 622, yang menjadi awal mula penanggalan Kalender Hijriah. Hijrah dimaknai semangat yang melandasi Rasulullah melakukan perjalanan, dengan meninggalkan Kota Mekkah menuju Madinah, yaitu perubahan menuju yang lebih baik. Langkah hijrah merupakan strategi dakwah Nabi Muhammad menyusul situasi dan kondisi masyarakat Mekkah yang tidak kondusif.

Ahli hadits Al Hafizh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fathul Bari menjelaskan alasan Muharram sebagai awal bulan Hijriah karena pada bulan tersebut umat Islam memulai tekad untuk melaksanakan hijrah ke Madinah.

Setibanya di Madinah--kota sehat menurut WHO--kota yang cukup heterogen dengan multietnis, golongan, dan agama, Nabi Muhammad memprakarsai penyusunan Piagam Madinah yang berhasil menjadi kesepakatan bersama. Shahifatul Madinah itu, antara lain, menetapkan adanya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat; tentang keselamatan harta-benda, dan larangan orang melakukan kejahatan.

Isi Konstitusi Madinah hingga kini menjadi referensi dalam pembuatan sebuah naskah peraturan di berbagai negara atau forum internasional.

Yang terbaru, Konferensi Internasional Al-Azhar yang berlangsung di pengujung Januari 2020, juga mengutip Piagam Madinah dalam salah satu rumusannya.

"Negara menurut pandangan Islam adalah negara bangsa modern yang demokratis konstitusional. Al-Azhar--diwakili oleh para ulama kaum Muslim hari ini-- menetapkan bahwa Islam tidak mengenal apa yang disebut dengan negara agama (teokratis) karena tidak memiliki dalil dari khazanah pemikiran kita. Ini dipahami secara tegas dari Piagam Madinah dan praktik pemerintahan Rasul serta para khalifah rasyidin setelah beliau, yang riwayatnya sampai kepada kita. Para ulama Islam, di samping menolak konsep negara agama, mereka juga menolak negara yang mengingkari agama dan menghalangi fungsinya dalam mengarahkan manusia."

Demikian isi rumusan Nomor 12 dari Konferensi Internasional Al-Azhar seperti dilansir laman Kementerian Agama.

Piagam Madinah adalah prestasi luar biasa dalam sejarah peradaban Islam, sebuah konsensus yang berhasil mempersatukan bangsa Yatsrib (nama sebelum Madinah), termasuk di dalamnya kaum muhajirin.

Sebagaimana pada peringatan 1 Muharram 1445 H ini, Kementerian Agama mengusung tema, “Spirit 1445 Hijriah: Merawat Kerukunan, Perkokoh Semangat Kebangsaan”.

Menilik substansi isinya, dasar negara Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika memiliki keselarasan dengan Piagam Madinah. Maka menjadi mengherankan ketika hijrah dalam pemahaman yang kebablasan justru menjadi semangat mengeksklusifkan diri dan golongan, demi menggapai Islam kaffah. Ada semangat mempersatukan dalam Konstitusi Madinah maupun Pancasila, sementara mereka (para penjaja khilafah) bersemangat memisahkan diri bersama angan-angan akan terwujudnya sebuah negara Islam.

Resolusi pribadi.

Tidak harus dengan mengubah dunia atau melakukan perubahan besar, hijrah dalam konteks kekinian bisa dilakukan dari hal sederhana dan dimulai dari diri sendiri, sebelum menularkan ke orang lain. Sebagaimana tugas manusia menjadi khalifah di Bumi, maka semangat hijrah bisa ditandai dengan resolusi untuk menjaga dan merawat planet Bumi beserta penghuni dan isinya.

Berikut ini sejumlah ide resolusi pribadi yang tidak terlalu sulit untuk direalisasikan.

1. Peduli lingkungan. Bumi adalah planet yang diamanatkan Tuhan kepada manusia untuk dirawat dan dijaga dari kerusakan. Maka perilaku peduli lingkungan juga merupakan implementasi dari penerapan ajaran agama.

Aksi peduli lingkungan bisa dilakukan dengan menjaga tanah, air, dan udara dari pencemaran. Seperti tidak mengubur sampah plastik, kaca, popok bayi atau barang-barang yang sulit terurai lain ke dalam tanah. Tidak membuang sampah di sungai. Dan tidak membakar lahan atau hutan sembarangan.

Terlibat dalam gerakan menanam pohon, diet plastik, atau bersih-bersih sungai dan pantai dari sampah. Aksi kecil yang bila menjalar ke banyak orang dan menjadi kesadaran kolektif akan mampu mengurangi kerusakan bumi.

2. Harmonisasi sosial. Menjaga kerukunan antarsesama, hidup berdampingan bersama warga yang majemuk dengan saling hormat dan menghargai. Keharmonisan dalam hubungan dengan lingkungan sekitar adalah kebutuhan jangka panjang untuk menjalani kehidupan yang damai.

3. Kesalehan sosial. Menjaga keseimbangan antara hablum minallah dengan hablum minannas. Karena akhlakmu terhadap sesama, budi pekerti, dan adab dalam pergaulan sosial, mencerminkan kualitas beragamamu.

Termasuk dalam tata laksana ibadah atau mensyiarkan agama, tentu harus memperhatikan kenyamanan bersama dengan tidak menimbulkan polusi suara. Apalagi gelaran acara keagamaan yang mengundang banyak massa, hendaknya tidak mengganggu kepentingan dan ketertiban umum. Tidak boleh ada gaya mentang-mentang yang menimbulkan terjadinya tirani mayoritas.

4. Hidup minimalis. Dalam artian tidak menghambur-hamburkan sumber daya secara sia-sia, demi kehidupan yang berkelanjutan. Gaya hidup hemat generasi sekarang akan turut menyelamatkan kehidupan generasi anak cucu di masa mendatang. Mengingat ketersediaan sumber daya yang semakin berkurang sementara jumlah penduduk terus bertambah.


Agama dan budaya

Kehidupan beragama di berbagai negara mengalami akulturasi dengan budaya setempat, begitupun di negara asalnya. Karenanya harap bisa dibedakan mana substansi ajaran agama dan mana yang merupakan bumbu unsur budaya.

Seperti perayaan Paskah di Larantuka, Nusa Tenggara Timur. Festival berupa arak-arakan berikut rangkaian kegiatan perayaan adalah unsur budaya, sedangkan ritual agama berlangsung di Gereja Katedral Reinha Rosari, meski juga masih ada unsur budaya yang ikut mewarnai.

Pemeluk agama hanya berkewajiban menganut ajarannya, bukan bumbu-bumbu budaya yang menyertainya. Pemeluk agama Hindu atau Buddha di Indonesia, tidak harus mengikuti budaya India. Begitu pula Islam yang turun di negeri Arab. Muslim di Indonesia tidak perlu mengimpor gaya dan budaya Arab ke Tanah Air, cukup ambil esensi ajarannya kemudian ditunaikan beriringan dengan kearifan lokal agar umat menjadi luwes bergaul dalam lingkungan sosial.

Semisal, mengaji dan membaca Surat Yasin adalah ibadah, tapi selamatan tujuh hari orang meninggal dunia dengan membaca tahlil dan Surat Yasin merupakan tradisi. Tidak usah diributkan, bergabung saja sebagai ajang kumpul-kumpul bersama tetangga seraya mendoakan mendiang yang telah pulang menghadap Tuhan.

Kejernihan pandangan dalam membedakan mana esensi ajaran agama dengan unsur tradisi, gaya, dan budaya diperlukan, agar spirit hijrah tidak lantas overdosis dengan memborong budaya dari negara di mana Islam diturunkan sebagai gaya hidup keseharian di Indonesia. Cara yang diyakininya sebagai jalan hijrah secara kaffah atau murni dan totalitas.

Segala yang ditenggak terlalu banyak akan berdampak memabukkan, tak terkecuali dalam beragama yang dijalani dengan ekstrem. Ekstrem dalam sikap, dengan menganggap Islam versi dirinya paling murni, lantas memandang sinis saudara Muslim lain yang berbeda dengannya. Ekstrem dalam penampilan, dengan menjiplak persis gaya berbusana ala penduduk gurun pasir.

Mungkin warga banyak menjumpai di jalan raya, perempuan yang mengenakan kain penutup kepala selebar mukena, dan ketika dibonceng sepeda motor hijab lebarnya menutupi lampu sein hingga menyulitkan para pengendara lain di belakangnya. Itulah salah satu contoh gaya syar’i yang mengabaikan safety. Berapa banyak kecelakaan sepeda motor terjadi karena pengendara memakai rok (yang dianggap sebagai gaya syar’i) lebar menjuntai panjang hingga menyapu tanah.

Agama diturunkan sebagai pedoman gaya hidup umatnya, konsep yang diusungnya tentu untuk kemudahan. Singkatnya, agama itu mudah, namun tidak untuk digampangkan dan jangan pula mempersulit diri.

Kedalaman pemahaman agama seseorang akan membuahkan sikap bijak, moderat, dan toleran serta adab yang baik. Telah ditanggalkan sifat ujub dan makin kental sifat tawaduk.

Karena sesungguhnya puncak dari agama adalah akhlak, maka menjadi percuma bila kobaran semangat hijrah justru menimbulkan cacat akhlak.

Siswa-siswi MI Al Islamiyah Nagrok, Desa Tegal, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, merayakan Tahun Baru Hijriah di lapangan Komplek Telaga Kahuripan, Kemang, Bogor, (18/07/2023). ANTARA/Sizuka.

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023