"Taiwan akan melakukan apa saja, apa itu mendarat di Ambon, Papua atau yang lainnya dimana ia ingin mendarat. Ini merupakan salah satu bagian dari diplomasi mereka yang disebut `Travelling Diplomacy`," kata Hariyadi.

Depok (ANTARA News) - Pakar Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Hariyadi Wirawan, PhD, mengatakan pemerintah Indonesia harus mengubah Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) kebijakan "One China Policy" (kebijakan satu China) dengan mengedepankan kepentingan nasional. "Saat ini juklak tersebut banyak berisi masukan dari China, yang mengatur jangan ini jangan itu, kita seperti pecundang saja. Ini harus segera diakhiri," kata Hariyadi, usai acara seminar Kebijakan satu China di Tengah Isu Hubungan Ekonomi Jakarta-Taipei, di kampus Universitas Indonesia, Depok, Rabu. Ia mengatakan, pemerintah Indonesia jangan berfikir bahwa kejadian kunjungan tak terduga Presiden Taiwan, Chen Sui Bian, ke Batam --dengan alasan pesawat yang ditumpanginya kehabisan bahan bakar-- merupakan yang terakhir kalinya. Kejadian tersebut akan selalu berulang kembali. "Taiwan akan melakukan apa saja, apa itu mendarat di Ambon, Papua atau yang lainnya dimana ia ingin mendarat. Ini merupakan salah satu bagian dari diplomasi mereka yang disebut `Travelling Diplomacy`," katanya. Dengan "travelling diplomacy", Taiwan bisa memainkan "kartu" China dan bisa membuat marah dan goyah China. Kejadian ini akan berulang sehingga perlu diatur lagi Juklaknya, katanya. Sementara itu, Pakar Asia Timur dari Universitas Indonesia (UI), Makmur Keliat mengatakan kebijakan satu China harus menciptakan pilihan kepada publik, apakah melihat dari lensa Taiwan, China atau melalui kacamata Indonesia sendiri. "Jika dari lensa China jelas tidak ada kemerdekaan, dari lensa Taiwan jelas independen dan mempunyai hubungan dengan organisasi internasional," katanya. Sedangkan dari lensa Indonesia ia menyarankan agar tidak terperangkap dua lensa tersebut. Untuk itu ia mengharapkan Departemen Luar Negeri agar lebih meningkatkan diplomasi. "Pemerintah juga harus melakukan pemikiran melalui 'White Paper Policy' yang lebih jelas," sambungnya. Ia juga menjelaskan hubungan diplomatik dengan China akan berpengaruh kepada hubungan global dimana Amerika Serikat memegang peranan utama. "Pembicaraan informal juga terus dilakukan pada tataran akademisi dan tidak mengikat," ujarnya. Sedangkan Kepala Sub Direktorat II Asia Timur Departemen Luar Negeri, Gudadi B. Sasongko mengatakan Indonesia masih mengakui kebijakan satu China, namun demikian masih membina hubungan dengan Taiwan sebatas hubungan ekonomi oleh pihak swasta. Menurut dia, walaupun Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik sejak tahun 1967, dan baru membuka hubungan diplomatik dengan China pada tahun 1990, namun tetap memegang kebijakan satu China. Mengenai hubungan dengan perdagangan dengan Taiwan, Gudadi mengatakan kita selalu menekankan kepada pihak swasta untuk memanfaatkan semua peluang yang ada," kata Gudadi.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006