Penerapan pasal 351, 338, dan 340 KUHP terhadap pelaku praktek dukun santet atau teluh dapat dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa unsur dan fenomena sosial budaya di lapangan,"
Makassar (ANTARA News) - Guru Besar Hukum Pidana dan Kriminologi Universitas Indonesia Prof Dr Ronny Nitibaskara mengatakan, peradilan terhadap dukun santet atau teluh sangat memungkinkan, karena tindakannya dapat dikategorikan sebagai kejahatan berat.
"Penerapan pasal 351, 338, dan 340 KUHP terhadap pelaku praktek dukun santet atau teluh dapat dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa unsur dan fenomena sosial budaya di lapangan," kata Ronny disela-sela Simposium Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi di Universitas Hasanuddin, Makassar, Selasa.
Dia mengatakan, praktek dukun santet atau teluh, dengan segala motivasi dan akibat yang ditimbulkannya, sebenarnya dapat dikategorikan sebagai kejahatan berat.
Hanya saja, lanjut dia, masih cukup sulit dituntut secara pidana dengan menggunakan pasal 351, 338, atau 340 KUHP terkait dengan pembunuhan berencana atau menghilangkan nyawa seseorang. Alasannya, karena dunia teluh adalah dunia magic (ilmu hitam) sehingga, tidak bisa dibuktikan secara logis dan ilmiah.
Namun dengan beberapa pertimbangan, termasuk dengan adanya suatu penelitian dan penelusuran lebih lanjut tentang aktivitas seorang dukun santet, maka dapat dijerat secara hukum.
Sebagai gambaran, dari hasil penelitian dan penyamaran aparat penegak hukum di salah satu wilayah pesisir di Jawa, maka diperoleh rekaman pengakuan dukun santet yang telah menghilangkan nyawa belasan hingga puluhan orang.
"Hasil bukti rekaman itu dapat dijadikan alat bukti dan dinyatakan sah secara hukum," katanya.
Berkaitan dengan hal tersebut, lanjut dia, menjadi tantangan bagi penegak hukum dalam melakukan proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Selain itu, tetap memperhatikan konvensi yang ada dan berisikan asas-asas antara lain praduga tak bersalah (pre-sumption of innocence), persamaan di muka hukum (equality before the law), asas legalitas (principle of legality), ne bis in idem (double jeopardy) dan asas tidak berlaku surut (non retroactivity).
(S036/R010)
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013