dinamika cuaca di Indonesia sangat dinamis

Jakarta (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa bencana hidrometeorologi basah maupun kering yang terjadi di Indonesia masih dipengaruhi oleh cuaca yang bersifat regional.

“Indonesia itu tidak bisa ketika musim kemarau waspada kebakaran hutan dan lahan (karhutla) saja, atau saat hujan waspada banjir saja, karena kondisi kita sangat bergantung pada cuaca yang sangat regional,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dalam diskusi disaster briefing yang diikuti dalam jaringan di Jakarta, Senin.

Abdul menjelaskan, Indonesia sebagai negara maritim dipengaruhi oleh lautan Pasifik-Hindia, sehingga menyebabkan pola musim yang bisa berbeda, ketika kemarau tidak semua wilayah kering, begitu pula saat hujan tidak semua wilayah basah.

“Dalam dua minggu ini, kita masih dominan di bencana hidrometeorologi basah meskipun sudah memasuki musim kemarau. Di tanggal 10-16 Juli 2023 ada 18 kali banjir, karhutla ada tujuh kejadian, meskipun intensitas hujan naik, di beberapa tempat kekeringan dan karhutla masih terjadi,” ujar dia.

Baca juga: BNPB gelar rakor tangani bencana banjir hingga tanah longsor di Sumbar
Baca juga: Banjir berdampak pada 69 keluarga di bagian wilayah Kepulauan Sula

Ia menegaskan, dalam kondisi-kondisi seperti ini, masyarakat harus memahami bahwa Indonesia bisa saja mengalami banjir di musim kemarau, atau karhutla di musim hujan.

“Itu fenomena yang sangat biasa, jadi selalu kita tekankan di daerah, tidak bisa meningkatkan kewaspadaan hanya di satu atau dua jenis bencana saja,” lanjutnya.

Abdul memaparkan, banjir masih melanda beberapa wilayah, di Pulau Sumatera tepatnya di Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Kepulauan Mentawai, Padang Pariaman, Agam, Pasaman Barat, Kota Padang, Pesisir Selatan, Bangka, dan Bangka Tengah. Sedangkan di Kalimantan yakni Kab. Kotawaringin Timur.

Wilayah Indonesia timur juga cukup terdampak banjir, diantaranya Bolaang Mongondow, Sinjai, Kolaka Timur, Seram bagian barat, Kota Ambon, Kepulauan Sula, Halmahera Selatan, Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan.

Baca juga: Gubenur Lampung imbau masyarakat jaga kawasan hutan, cegah bencana
Baca juga: Curah hujan tinggi, 14 rumah di Agam Sumbar terdampak tanah longsor

Namun, di Pulau Jawa bencana yang mendominasi justru kebakaran lahan dan kekeringan, yakni di Bogor, Sukabumi, Cirebon, Cilacap, Klaten, Blora, Pati, dan Situbondo.

“Meskipun di Pulau Jawa didominasi oleh bencana karhutla dan kekeringan, beberapa wilayah lain justru didominasi banjir, karena fenomena regional itu bisa membawa atau menarik awan hujan, sehingga dinamika cuaca di Indonesia sangat dinamis,” tutur Abdul.

Ia menjelaskan, Pulau Jawa mengalami bencana kering ekstrem karena mulai tanggal 10-15 Juli tidak ada awan hujan yang sangat signifikan sampai tanggal, sehingga menyebabkan terjadi kebakaran lahan.

“Beberapa kabupaten/kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat juga sudah mulai merasakan kesulitan air bersih, sehingga kita mempersiapkan mobil-mobil tangki untuk mengambil dan mendistribusikan air kepada masyarakat,” katanya.

Ia berpesan, baik masyarakat maupun pemerintah harus saling berkolaborasi membuat perubahan yang signifikan untuk menangani bencana banjir maupun kekeringan, mulai dari memperbaiki dan mengatur tata guna lahan, rehabilitasi ekosistem, dan penanaman kembali daerah-daerah resapan air.

Baca juga: BPBD Kota Cirebon bentuk 10 kelurahan tangguh bencana
Baca juga: BMKG: Waspadai tiga wilayah NTT alami hari tanpa hujan ekstrem panjang
Baca juga: Hujan dan angin kecang akibatkan banjir dan pohon tumbang di Ambon

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2023