Jakarta (ANTARA) - Direktur Yayasan Empatiku Mira Kusumarini mengungkapkan sejumlah temuan dalam analisis kebijakan penanganan terorisme terhadap pemenuhan hak asasi manusia warga sipil.
Menurut dia, analisis kebijakan ini berdasarkan pada keprihatinan dan keinginan bahwa penanganannya sejalan dengan kebijakan dan pelaksanaan sebab aksi terorisme itu sudah melanggar HAM para korbannya dari hak hidup, rasa aman dan bebas dari rasa takut terhadap aksi terorisme.
"Namun, ketika kita melakukan penanganan, apakah penanganan terorisme telah melindungi HAM warga sipil? Apakah kebijakan penanganan terorisme telah memastikan perlindungan HAM? Apakah penerapan kebijakan telah melindungi HAM?" kata Mira dalam Seminar Nasional "Analisis Kebijakan Penanganan Terorisme Terhadap Perlindungan HAM Warga Sipil di Indonesia: Pembelajaran dan Praktik Baik" di Gedung IASTH Universitas Indonesia, Jakarta, Senin.
Dia menyebutkan lingkup kebijakan yang telah ditelaah itu masuk dalam tiga aspek, yakni aspek penegakan hukum dalam proses peradilan tahap pra-ajudikasi, ajudikasi dan pasca-ajudikasi; aspek rehabilitasi dan reintegrasi; aspek pencegahan.
Adapun kelompok target kajian adalah tersangka atau terdakwa; terpidana; korban, saksi pelapor tindak pidana terorisme; pemberi bantuan hukum/advokat; pendamping/pembela HAM; perempuan; anak; dan warga umum dari upaya intelijen dan pencegahan.
Mira mengungkapkan terdapat hal yang sangat positif dan menggembirakan setelah Empatiku melakukan pemetaan kebijakan.
Dia menilai Indonesia memiliki banyak perangkat kebijakan mulai dari kebijakan terkait HAM, kebijakan terkait penanganan terorisme maupun kebijakan lain terkait perempuan, anak, korban dan lain-lain.
"Itu sudah kita punya semua kebijakan baik dari undang-undang, peraturan sampai teknik operasional," tambahnya.
Dia mengatakan temuan pertama dalam kelompok tersangka atau terdakwa adalah masih terjadinya serangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM saat penyidikan dan masih penahanan yang melebihi ketentuan.
Lalu, sulitnya mengakses bantuan hukum atas pilihan sendiri. Hal ini diungkapkan oleh aparat penegak hukum yang masih banyak mengalami tantangan mendapat informasi yang tepat dan akurat dan data intelijen, kesamaan pemahaman dan persepsi antar aparat penegak hukum terkait dual use goods dan korban untuk menghindari proses salah tangkap.
Mira juga mengatakan bahwa temuan terhadap terpidana di mana penerapan one man one cell berpotensi melanggar HAM. Penanganan narapidana risiko tinggi fokus pada keamanan ketimbang pembimbingan dan rehabilitasi.
Sementara itu, temuan terhadap pelapor, saksi ahli dan korban meliputi perlindungan medis, psikologis dan psikososial dibatasi oleh waktu. Korban tindak pidana terorisme tidak termasuk sasaran BPJS.
Kemudian, belum masuknya penanganan korban komunal Poso hingga sulitnya menegakkan hak menjaga identitas pelapor.
Terhadap bantuan hukum/advokat, sambung Mira, mereka tidak termasuk yang dilindungi oleh undang-undang. Kondisi yang sama juga ditemukan terhadap pendamping/pembela HAM.
"Para pendamping atau pembela HAM tidak masuk dalam lingkup perlindungan HAM," ucap Mira.
Selanjutnya, temuan terhadap perempuan disebutkan bahwa mereka masih terpapar dan direkrut. Tidak hanya itu, perempuan belum dilibatkan dalam penanganan ekstremisme kekerasan.
Temuan terhadap anak juga masih menjadi target rekrutmen. Perlindungan hak anak berjalan dengan hukum melalui UU SPPA dinilai kurang berjalan.
Kelompok ini juga tidak jelas pelaksanaan rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi anak yang terafiliasi dengan terorisme.
Terakhir, temuan terhadap warga sipil dari upaya intelijen dan pencegahan. Masih terjadi upaya pengawasan terhadap warga sipil yang sedang melakukan penelitian, pendampingan terhadap mantan narapidana dan deportan.
Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2023