MPLS memang seharusnya menjadi momen yang menyenangkan bagi peserta didik, karena hal itu akan terpatri di benak mereka.

Jakarta (ANTARA) - Tahun ajaran baru telah tiba. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, awal tahun ajaran baru merupakan masa bagi siswa baru untuk mengenal sekolahnya atau dikenal dengan masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS).

MPLS yang diterapkan mulai dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah atas tersebut bertujuan untuk menyambut peserta didik baru dan kegiatan pengenalan bagi siswa mengenai aktivitas lingkungan hingga sarana dan prasarana sekolah.

MPLS sendiri diselenggarakan pada pekan pertama tahun ajaran baru. Jika sebelumnya MPLS identik dengan perploncoan atau bahkan momen bagi kakak tingkat untuk "ngerjain" adik-adiknya, kini tidak lagi.

Paradigma terkait MPLS sendiri telah berubah. Sejumlah sekolah di beberapa daerah meninggalkan metode yang kaku dan feodal. Kini kegiatan MPLS dilakukan dengan kegiatan yang lebih menyenangkan seperti siswa dibebaskan menggunakan pakaian dari sejumlah daerah atau bahkan diajak bermain seperti pencarian “harta karun” yang ada di lingkungan sekolah. MPLS seperti itu mulai diselenggarakan di SMPN Satu Atap Katingan Hilir, Kalimantan Tengah.

Selanjutnya, program MPLS buddy yang mana kakak kelas menjadi teman dan mendampingi adik kelasnya selama kegiatan MPLS.

“MPLS memang seharusnya menjadi momen yang menyenangkan bagi peserta didik, karena hal itu akan terpatri di benak mereka,” ujar pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal di Jakarta, beberapa waktu lalu.

MPLS hendaknya dilakukan dalam waktu yang tepat untuk memberikan ruang bagi siswa untuk berkreasi dan kesempatan sekolah untuk mengenal siswanya. Masa pengenalan menjadi bagian dari upaya bersama untuk mewujudkan lingkungan belajar dan tempat tinggal yang aman, nyaman, bebas dari perundungan, kekerasan fisik dan psikis, serta intoleransi dan diskriminasi.

Baca juga: Wali Kota Denpasar: MPLS harus bisa beri kesan positif pada siswa

Selama ini, kegiatan MPLS di sekolah menerapkan pendekatan yang terlalu kaku, fokus pada aturan atau tugas, dan bahkan mempertahankan budaya feodalistik senioritas junioritas.

Pendekatan yang kaku tersebut sedikit banyak berpengaruh pada kehidupan siswa di kemudian hari. Maka tak heran, jika dalam beberapa waktu terakhir terjadi perundungan atau bahkan kekerasan yang berujung pada pembakaran sekolah dan kematian anak yang semakin meningkat.

Dendam akibat perundungan di sekolah dan kurangnya perhatian guru, bisa jadi menyebabkan kasus pembakaran sekolah seperti yang dilakukan oleh seorang siswa di Temanggung, Jawa Yengah,

Kemudian, kematian seorang anak usia SD akibat stres dampak perundungan oleh tiga siswa SMP mencerminkan budaya senioritas dan diskriminasi yang masih berlangsung. Fenomena itu semakin merebak di era digital jika tidak dianggap serius oleh guru dan orang dewasa yang bertanggung jawab.

"MPLS Menyenangkan fokus pada pendidikan memanusiakan di tahun ajaran baru. Kami berusaha untuk melawan kekerasan dan budaya feodalistik senioritas dan junioritas yang berdampak buruk pada kemampuan adaptasi, kemauan berliterasi, dan growth mindset siswa baru,” ungkap Rizal.

Budaya baru

GSM sendiri, ingin mengubah budaya lama di sekolah dengan budaya baru dalam dunia pendidikan yakni budaya meraki yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti melakukan sesuatu dengan sepenuh cinta dan jiwa. Guru-guru juga dapat menemukan makna meraki di dalam diri mereka.

MPLS Menyenangkan juga berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar positif bagi guru dan siswa, dengan kegiatan yang membangun perasaan dan pengalaman menyenangkan setiap siswa dalam menemukan rejana dan talenta mereka.

MPLS Menyenangkan memiliki prinsip utama yakni meraki dan memanusiakan (2M) dan prinsip pelaksanaan 3M, yakni mengenalkan dan memaknai, melibatkan seluruh pihak, serta murah dan menyenangkan.

Baca juga: Banten berikan penguatan dasar antikorupsi bagi penyuluh dan siswa

Dalam praktiknya, kegiatan itu juga mengaitkan dengan metode Play, yaitu tradisi kuno yang dapat mengeluarkan emosi pro-sosial manusia yang berdampak positif pada ikatan persahabatan atau pengasuhan manusia.

Dalam metode Play terdapat ikatan, tantangan, dan saling memahami dalam menegakkan aturan permainan, sehingga tidak ada dominasi dan kesetaraan akan muncul. Metode itu juga pada akhirnya akan berintegrasi dengan prinsip melibatkan untuk dapat mengajak teman lain ikut bermain dalam kesepakatan yang dibangun bersama.

Selanjutnya, prinsip memaknai bertujuan agar siswa memiliki kemampuan berefleksi, berkontemplasi, dan berinspeksi diri. Hal itu dapat melatih kesadaran diri untuk mengenali pikiran kita, dan bagaimana cara mengendalikan diri.

Prinsip mengenali dalam MPLS Menyenangkan bertujuan untuk mengenali apa yang ada di dalam diri dan luar diri. Pada akhirnya, siswa akan mengenali kelemahan dan kekuatan dalam diri mereka. Minat dan bakat juga akan muncul sebagai upaya untuk menemukan tujuan moral hidup manusia yang berujung pada penemuan versi terbaik dirinya. MPLS Menyenangkan dipersiapkan untuk menjadi solusi bagi dunia pendidikan.

Pendiri GSM lainnya, Novi Poepita Candra, mengatakan sering kali permasalahan seperti kenakalan remaja tidak dianggap sebagai permasalahan pendidikan.

Upaya untuk mengubah budaya lebih sering terfokus pada kurikulum, akademik, dan hal-hal pembelajaran. Namun, untuk menghilangkan kekerasan dalam sekolah dan menciptakan pendidikan memanusiakan, dibutuhkan solusi yang diberikan kepada pendidikan, yaitu dengan menanamkan budaya meraki di tahun ajaran baru,

MPLS akan menjadi sarana bagi guru-guru dari sekolah yang terlibat nantinya untuk berkolaborasi dalam menyiapkan dan menerapkan MPLS Menyenangkan.

MPLS Menyenangkan diselenggarakan di 1.300 lebih sekolah di seluruh jenjang pendidikan di Tanah Air. Kolaborasi yang dilakukan secara lintas jenjang dan lintas daerah tersebut, diyakini akan menciptakan jejaring ide, jejaring pengalaman, serta praktik agar semakin meluas.

Diharapkan ke depan, hal itu dapat menjadi wadah bagi guru untuk menjadi pelaku utama yang mengajar murid, orang tua, dan masyarakat dalam menciptakan budaya baru sekolah.

Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023