Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan bahwa perkawinan dini dapat mengancam seorang anak kehilangan hak-haknya untuk tumbuh dengan sehat dan meningkatkan kualitas hidupnya.

“Terjadinya perkawinan anak merupakan salah satu ancaman bagi terpenuhinya hak-hak dasar anak. Tidak hanya fisik dan psikis, perkawinan usia anak juga berdampak pada naiknya angka kemiskinan, angka anak putus sekolah, dan prevalensi stunting,” kata Ketua Tim Kerja Elsimil Perwakilan BKKBN Sulawesi Barat Dudi Fahdiansyah dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu.

Dudi menuturkan sebenarnya dari segi pemahaman, masyarakat sudah paham mengenai kesehatan reproduksi.

"Namun, perkawinan anak masih terjadi akibat masih banyaknya orang tua, yang memiliki pola pikir bahwa menikahkan anak perempuan merupakan sebuah prestise di masyarakat, seperti di Sulawesi Barat," katanya.

Baca juga: BKKBN-Pergunu kerja sama sebarkan edukasi soal bahaya perkawinan anak

Berdasarkan data yang dihimpun dari Pengadilan Agama di Sulawesi Barat selama tahun 2021 terdapat 262 permohonan dispensasi perkawinan yang disetujui. Angka ini bertambah pada tahun 2022 sebanyak 264 dispensasi perkawinan.

Kasus perkawinan anak di Sulawesi Barat saat ini berada di urutan ke-8 secara nasional, dengan persentase kasus perkawinan anak sebesar 11,7 persen pada 2022. Menurut Dudi, angka ini masih berada di atas rata-rata nasional angka perkawinan anak sebesar 8,06 persen.

“Oleh karena itu, dalam menghadapi masalah tersebut diperlukan kolaborasi dan membangun kemitraan program antara penyuluh KB, penyuluh agama, dan tenaga kesehatan di lini lapangan,” katanya.

Kepala DP3AP2KB Sulawesi Barat Jamila mengatakan perkawinan anak merupakan fenomena gunung es, karena hanya sedikit yang terlihat dan berhasil dilaporkan.

Baca juga: BKKBN sebut pelarangan pernikahan anak cegah stunting

"Perkawinan anak menimbulkan berbagai persoalan seperti meningkatnya angka kematian ibu dan anak, berisiko melahirkan anak stunting, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dan meningkatnya angka putus sekolah," katanya.

Hal itu, menurut dia, disebabkan belum adanya aturan yang memberikan sanksi secara mengikat baik pada pelapor maupun orang tua, sehingga aturan terkait perkawinan anak tidak berjalan optimal.

Dalam menghadapi masalah itu, jajarannya telah membentuk Satgas 4+1 yaitu empat masalah pembangunan sumber daya manusia berupa stunting, anak tidak sekolah, kemiskinan ekstrem, dan pernikahan anak ditambah mempertahankan inflasi daerah yang paling rendah di Indonesia.

Upaya lainnya yakni diterbitkannya Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2020 tentang sistem perlindungan anak dan harus dilakukan sosialisasi secara masif untuk mendorong para bupati menyusun regulasi turunan perda tersebut hingga ke tingkat desa.

Baca juga: Wakil Ketua MPR minta pemerintah konsisten tekan pernikahan dini

Kepala Pengadilan Tinggi Sulawesi Barat Muh Alwi menambahkan bahwa pernikahan anak sangat rawan menimbulkan konflik dalam rumah tangga, mulai dari motif ekonomi hingga kesiapan reproduksi dan mental anak.

"Diperlukan berbagai upaya dalam melakukan pencegahan terjadinya pernikahan anak, salah satunya dengan diperketatnya persyaratan dispensasi perkawinan," katanya.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2023