Laob, Nusa Tenggara Timur (ANTARA News) - Sore itu Albertus Fai memimpin tokoh masyarakat Desa Laob, Kecamatan Polen, Kabupaten Timor Tengah Selatan, menari Bonet.

Sekitar 20 orang berkumpul di lapangan rumput di depan Kantor Desa Laob. Sambil berpegangan tangan, mereka membentuk lingkaran dan mengikuti Fai bersyair dalam bahasa Dawan, bahasa lokal masyarakat Nusa Tenggara Timur.

Setelah beberapa kali mengucap syair, mereka menggerakan kaki ke depan, belakang, kiri, kanan; berputar dalam lingkaran sambil terus bernyanyi.

Rombongan Tari Bonet pun bertambah, beberapa warga dan tamu yang tertarik ikut bergabung tanpa mengubah irama tarian. Tanpa iringan musik, mereka berpegangan tangan, menari, menyanyi selama tiga putaran.

"Ini tarian persatuan, untuk mencapai sesuatu, kalau kita bergandengan tangan, akan tercapai tujuan itu," kata Fai.

Tari Bonet biasanya ditampilkan masyarakat Laob saat bersuka cita, seperti dalam pesta pernikahan atau ulang tahun. Tapi kali ini tarian itu juga digunakan untuk menyampaikan pesan.

Agar pesan kebersihan dan kesehatan lebih mudah sampai ke masyarakat, Fai memilih menggabungkan tradisi lama dengan hal baru melalui Tari Bonet--kata bonet dalam Bahasa Dawan artinya mengepung--.

"Kalau tarian ini biasanya menggunakan metafora. Untuk keperluan kampanye kesehatan, kami menggunakan bahasa yang mudah dimengerti," jelas Fai.

Syair gubahan Fai sore itu berisi lima hal yang harus dilakukan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan seperti tidak boleh membuang air besar sembarangan, serta harus mencuci tangan dengan sabun, mengelola air minum, mengelola limbah rumah tangga, dan mengumpulkan sampah.

"Kalu hit nekak an malin, hit pules uis neno," kata Fai, yang kurang lebih berarti "Bila hati kita bersuka cita, kita memuliakan Tuhan."


Mengubah Pola

Menurut Fai, yang menjabat sebagai camat Polem selama 2006-2011, sebelumnya desa itu punya banyak masalah sanitasi dan kesehatan lingkungan. Akses air yang sulit membuat warga tidak menganggap penting masalah tersebut.

Benyamin Mauboi mengatakan, sumber air terdekat di desanya berjarak sekitar satu kilometer dari pemukiman penduduk. "Dari Sungai Bijeli," tutur pria berusia 53 tahun itu.

Kondisi yang demikian membuat kesadaran warga untuk membuat jamban di rumah masing-masing rendah, orang-orang masih buang air besar sembarangan.

Menurut Simon Jami, relawan di Desa Laob, saat itu 40 persen warga Desa Laob belum memiliki kakus dan belum ada yang mengelola air minum, sampah dan limbah rumah tangga. Mencuci tangan menggunakan sabun juga belum jadi kebiasaan.

Organisasi nirlaba Plan Indonesia kemudian datang dengan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).

Mereka mengajak warga menjaga kesehatan dengan berhenti buang air besar sembarangan, cuci tangan pakai sabun, mengelola air minum, mengelola sampah rumah tangga, dan mengolah limbah cair.

Irsyad Hadi, Communication Specialist Plan Indonesia, mengatakan, upaya untuk mengubah perilaku masyarakat desa tidak hanya dilakukan dengan membangun fasilitas karena dalam hal ini perubahan pola pikir lebih penting.

Mereka pun perlahan berusaha mengubah pola pikir warga.

"Misalnya, sambil ngumpul ramai-ramai kami memasukkan sehelai rambut yang tercemar kotoran ke dalam air bening. Ketika masyarakat jijik, mereka jadi sadar sendiri untuk punya jamban," katanya.

Sementara Simon berusaha mengubah pola pikir warga dengan memicu rasa takut akan sakit dan menularkan budaya malu bila tidak hidup bersih.

Camat Polen, Nim Tauho, juga berusaha memberikan pemahamam kepada kepada warga tentang pentingnya menjaga kesehatan.

Kepada warga antara lain dia bilang bahwa bila seseorang sakit, akan banyak waktu yang terbuang, perekonomian keluarga pun jadi terganggu.

Aparat desa juga bekerja sama dengan gereja untuk memantau kemajuan kampanye kebersihan dan kesehatan.

"Kami monitoring dengan relawan cilik per tiga bulan," kata Octavia Koilher, Ketua Majlis Jemaat Gereja GMIT Ora et Labora di Laob.

Upaya itu membuahkan hasil. Sekarang 485 keluarga di Desa Laob sudah menjalankan lima pilar kesehatan, buang air di jamban, cuci tangan pakai sabun, mengelola air minum, mengolah sampah dan mengelola limbah.

Angka penyakit berbasis lingkungan seperti diare pun, menurut Kepala Puskemas Polen, Karolus Niron, sudah turun.

Tahun 2010 Puskesmas menangani 500 kasus diare, tapi tahun berikutnya hanya menangani 254 kasus. Tahun lalu, kasus diare yang ditangani Puskesmas sekitar 257 kasus.




Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013