Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum DPP Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyampaikan partainya siap mengevaluasi beberapa produk hukum jika selepas Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, partainya kembali ke pemerintahan, terutama produk-produk hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Partai Demokrat.

“Kalau kemudian nanti kami punya kesempatan sejarah untuk kembali ke pemerintahan nasional, tentu kami akan segera evaluasi mana-mana yang perlu segera direvisi. Nanti ada prioritasnya, rankingnya, urgensinya. Ada mana dulu yang perlu didahulukan,” kata AHY menjawab pertanyaan ANTARA selepas menyampaikan pidato politiknya di Jakarta, Jumat malam (14/7).

Walaupun demikian, dia memastikan evaluasi itu bukan sikap yang tanpa alasan, mengingat produk-produk hukum yang memang berdampak baik untuk kehidupan masyarakat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Demokrat tentu bakal dipertahankan.

“Kalau yang bagus, oke, relevan, adil, lanjutkan! Tetapi, begitu nggak bener, nggak make sense (masuk akal, red.) kita revisi. Itu semangat kami,” kata AHY.

Dalam pidatonya itu, AHY menyinggung penolakan Demokrat terhadap Undang-Undang Cipta Kerja dan Rancangan Undang-Undang Kesehatan.

“Tetapi Demokrat tidak didengarkan, (DPR) ketok palu (mengesahkan UU Cipta Kerja), ternyata benar produk Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi yang akhirnya harus dilakukan perbaikan dalam kurun waktu tertentu,” kata AHY.

Kemudian, dia juga menyayangkan aturan belanja wajib (mandatory spending) sebesar 5 persen dari APBN yang dihapus dalam Undang-Undang Kesehatan. Ketentuan itu sebelumnya diatur dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

“Demokrat berpendapat, agar anggaran wajib sebesar minimal 5 persen dari APBN yang dihapus di UU Kesehatan, seharusnya dipertahankan. Saya ulangi, harusnya tetap dipertahankan!” kata AHY dalam pidato politiknya.

Terkait belanja wajib itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin selepas Rapat Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (11/7), menjelaskan keputusan menghapus ketentuan itu dalam Undang-undang Kesehatan didasari fakta manfaat kesehatan tidak ditentukan oleh besaran nominal uang yang dikeluarkan.

"Besarnya spending (pengeluaran) tidak menentukan kualitas dari outcome (manfaat). Tidak ada data yang membuktikan semakin besar spending, derajat kesehatannya makin baik," kata Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin.

Terlepas dari penjelasan itu, ada dua fraksi di DPR yang menolak UU Kesehatan, yaitu PKS dan Partai Demokrat.

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2023