Jakarta (ANTARA News) - Festival film bisa jadi batu loncatan bagi sineas independen untuk melebarkan sayap lebih luas. Salah satu contohnya adalah sutradara dokumenter Jepang, Matsue Tetsuaki.
Film dokumenter "Live Tape" sukses diputar di Tokyo International Film Festival beberapa tahun silam, membuatnya tidak patah arang untuk terus berkarya meski dengan dana terbatas.
"Dana saya sedikit, seperti membuat film mahasiswa. Ditayangkannya film saya di festival internasional membuktikan bahwa film independen pun tidak kalah dengan film besar lain.
Selama punya pesan kuat maka film itu bisa dinikmati semua orang, tidak hanya penikmat film melainkan juga orang awam. Sehingga, film independen pun dapat meraih lebih banyak penonton," tutur Tetsuaki dalam Diskusi Mencuri Perhatian Dunia Melalui Festival Internasional di Jakarta, Jumat.
Pria kelahiran 1977 itu mengungkapkan alasannya memilih jadi sutradara dokumenter. Menyutradarai film dokumenter rupanya membawa tantangan tersendiri karena tidak semua hal bisa diprediksi.
Jika drama punya skenario yang pasti, "naskah" film dokumenter itu tidak bisa ditebak karena berdasarkan kenyataan.
"Itu yang menarik dari film dokumenter dan tidak bisa ditemukan di dalam drama. Realita yang ditayangkan di film dokumenter lebih bisa menggoyang emosi," kata sutradara yang telah meraih beragam penghargaan seperti New Asian Currents Special Mention di Yamagata Internasional.
Penikmat film di Indonesia dapat menyaksikan salah satu film dokumenter karya sutradara yang telah mengikuti beragam film festival di dalam dan luar Jepang, yaitu "Flashback Memories 3D" yang ditayangkan besok di XXI Plaza Senayan pukul 12.30 WIB secara cuma-cuma.
Film yang dibuat tahun lalu itu menceritakan kisah Goma, seniman Jepang pemain digderidoo (alat musik tiup penduduk asli Australia bagian utara) yang mengalami cedera otak sehingga sulit mengingat hal baru.(*)
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013