DPR RI bisa membuat tekanan dan keputusan politis agar pemerintah saat ini meninjau ulang kontrak penjualan gas yang dipandang merugikan negara yang dibuat oleh pemerintah sebelumnya,"Pontianak (ANTARA News) - Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria mendesak DPR RI untuk mengoreksi kebijakan pemerintah terkait dengan ekspor gas karena telah merugikan negara yang jumlahnya ratusan triliun rupiah per tahun.
"DPR RI bisa membuat tekanan dan keputusan politis agar pemerintah saat ini meninjau ulang kontrak penjualan gas yang dipandang merugikan negara yang dibuat oleh pemerintah sebelumnya," kata Sofyano Zakaria dalam keterangan tertulisnya kepada Antara di Pontianak, Kamis.
Ia menjelaskan bahwa kontrak yang merugikan negara tersebut bukan harga mati yang tidak bisa ditinjau ulang karena perjanjian bisa direvisi.
Menurut dia, Undang-undang saja bisa direvisi sehingga tidak masalah jika pemerintah membuat keputusan untuk mengoreksi kontrak jual gas ke negara lain jika kontrak tersebut merugikan bangsa ini.
"Menjelang pemilu, saat yang tepat untuk mengoreksi kontrak penjualan gas tersebut. Jika ada parpol yang keberatan terhadap koreksi itu, parpol tersebut bisa dipertanyakan oleh publik karena tidak berpihak terhadap kepentingan bangsa dan bisa saja dicap sebagai proasing," ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi VII dari Partai Demokrat, Milton Pakpahan mengatakan bahwa ekspor gas dan pemanfaatan gas tersebut sudah dilakukan sejak zaman Presiden Soeharto.
"Sejak era pemerintahan Soeharto sampai sekarang, tentu kondisi bisnis dan pengelolaan gas berbeda antara masa lalu dan masa kini, ini harus kita pahami. Sebagai Anak bangsa kita harus bisa memberi saran serta solusi yang bijak dan terbaik untuk memperbaiki masalah gas itu agar lebih menguntungkan negara," ujarnya.
Menurut dia, negara ini masih terikat beberapa kontrak perjanjian jual beli gas jangka panjang dengan negara-negara pembeli, yang telah dibuat pemerintah masa lalu, dan tidak mudah untuk membatalkannya secara sepihak.
DPR RI masa sekarang, kata dia, telah meminta pemerintah untuk memprioritaskan pemanfaatan gas untuk kebutuhan dalam negeri, serta untuk mendukung alokasi dana pembangunan jaringan infrastruktur gas seperti FSRU, instalasi pipa transmisi, "Mother Daughter Station" membangun PLTG baru, dan SPBG.
Terhadap potensi kerugian negara dari ekspor gas, menurut dia, harus dilihat secara makro dan konprehensif, tidak sepotong-sepotong.
Jika dapat dibuktikan ada kerugian negara dari ekspor gas, Milton mempersilakan aparat aparat hukum yang berwenang menindaklanjutinya.
Anggota Komisi VII DPR RI Satya W. Yudha mengatakan bahwa Indonesia impor BBM jadi dalam jumlah besar, tentunya dengan harganya jauh lebih mahal dibanding harga gas setara liter bahan bakar minyak (BBM).
Sementara itu, gas yang lebih murah malah diekspor, hal itu pangkal dari defisit neraca Migas, belum lagi kalau dikaitkannya dengan defisit neraca perdagangan secara menyeluruh, katanya.
"Ke depan kita mesti mengubah paradigma tersebut karena kita tahu banyak kontrak gas ekspor yang sudah terikat sejak dulu," ungkapnya.
Sebelumnya, anggota Komite BPH Migas Qoyum Tjandranegara menyatakan bahwa ekspor gas yang dilakukan pemerintah telah menyebabkan kerugian devisa mencapai ratusan triliun rupiah.
"Pada tahun 2011, kita kehilangan devisa negara sampai Rp183 triliun. Lebih dari sekitar 50 persen gas dalam negeri di ekspor ke berbagai negara, seperti Malaysia, Singapura, dan Korea. Saya berharap ke depannya Pemerintah menyetop ekspor gas," ungkapnya.
(A057/D007)
Pewarta: Andilala
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013