Jakarta (ANTARA News) - Sampek Engtay, lakon cinta klasik dari China yang berujung tragis dibalut dengan sentuhan komedi dan dialog kekinian oleh Teater Koma..
Kisah yang disadur dari 12 versi oleh sutradara Nano Riantiarno itu dibuat dalam latar Indonesia, digelar 13-23 Maret, pukul 20.00 WIB di Gedung Kesenian Jakarta, Pasar Baru.
Sampek adalah pemuda asal Pandeglang, sementara Engtay seorang gadis asal Serang, Banten. Keduanya saling mengangkat satu sama lain sebagai saudara angkat saat menuntut ilmu di Betawi. Engtay yang menyamar jadi lelaki demi bisa bersekolah lama kelamaan menyimpan rasa cinta pada Sampek.
Saat Engtay gemas karena Sampek tidak kunjung sadar dirinya perempuan meski mereka sudah tinggal sekamar selama setahun, Engtay pun tergoda untuk mengaku.
"Apa kakak tidak mau mencintaiku?" tanya Engtay yang disambut gestur ngeri dari Sampek.
"Kamu kerasukan setan banci apa? Kita ini sama-sama lelaki!" teriak Sampek frustrasi yang disambut gelak tawa para penonton di Gedung Kesenian Jakarta.
Namun, saat cinta keduanya nyaris bersatu, Engtay harus pulang untuk dinikahkan dengan pria pilihan orangtuanya.
Lakon yang merupakan produksi ke-127 itu berisi kumpulan para pemain lama dan baru, seperti Dorias Pribadi, Rita Matu Mona, Emmanuel Handoyo, Dudung Hadi, Rangga Riantiarno, Alex Fatahillah, Anneke Sihombing, Andhini Puteri, dan Pandoyo Adinugroho.
Pemeran Sampek yang dimainkan Ade Firman Hakim adalah anggota Teater Koma yang baru bergabung tahun lalu. Sementara itu, Tuti Hartati yang bergabung dengan Teater Koma sejak 1999 didaulat menjadi Engtay.
Kisah Sampek Engtay sudah dimainkan Teater Koma selama 25 tahun sebanyak 85 kali pertunjukan.
Pada 2004, lakon tersebut mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia sebagai pentas teater yang sudah ditampilkan sebanyak 80 kali selama 16 tahun dengan tujuh pemain dan empat pemusik yang sama.
Tidak heran persiapan lakon "Sampek Engtay,Bukan Cinta Yang Biasa" memakan waktu yang lebih singkat, yaitu 2,5 bulan.
"Biasanya untuk satu lakon persiapan sampai empat bulan, tapi ini kan produksi lama yang sering dimainkan," tukas Nano saat jumpa media.
Idries Pulungan, pemeran Sampek periode 1988-2004 sekaligus co- sutradara mengatakan, dibanding lakon Sampek Engtay sebelumnya, tidak banyak perubahan kecuali dari sisi kostum dan artistik.
"Yang ada perkembangan, bukan perubahan," tambah Sari Madjid, manajer panggung yang juga pemeran Engtay dari 1988-2004.
Perpaduan budaya China dan Indonesia terlihat dari kostum-kostum para pemeran lakon yang.melibatkan sekitar 50 orang itu. Misalnya orang tua Engtay, Ciok (Budi Ros) dan Nyonya Ciok (Ratna Riantiarno) yang mengenakan pakaian model tradisional China yang bahannya dipadu batik Indonesia.
Musik yang dilantunkan pun tidak melulu bernuansa China, terkadang hentakan gendangnya seperti lagu Sunda atau Betawi, menyesuaikan tingkah laku pelakon.
Nuansa komedi mewarnai adegan-adegan sendu, seperti kala Sampek menjemput ajal.
Sampek yang sakit karena memikirkan Engtay tak henti-henti menyebut nama sang kekasih.
Setelah meraung-raung menyebut nama Engtay, Sampek yang sekarat mendadak terduduk di tempat tidurnya. Tangannya mengepal ke atas, "Merdeka!". Lalu mati.
Berbagai kata-kata kekinian diselipkan dalam dialog lakon yang mengisahkan nasib perempuan masa lalu yang dianggap tidak pantas menuntut ilmu.
Saat Engtay memohon pada ayahnya agar diizinkan bersekolah, Engtay pun berlutut sambil merengek, "Pleaaaseee...."
Isu terkini pun diselipkan Nano Riantiarno, sang sutradara yang juga bertanggung jawab atas naskah. Salah satunya adalah celetukan sang dalang (Emanuel Handoyo) di awal pertunjukan.
"Ayo kita happy happy... Yang penting jangan happy impor..."
(nan)
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2013