Namun belum bisa dipastikan apakah dukungan Komite Senat terhadap permintaan Obama itu akan bisa menjadi undang-undang.
Dalam pemungutan dengan posisi 10:8, panel yang dipimpin Demokrat itu kemudian mengirimkan rancangan undang-undang ke Senat, yang kemungkinan akan menghadapi hambatan hingga gagal dijadikan undang-undang.
Para penjual senjata api yang terdaftar secara federal saat ini diwajibkan melakukan pemeriksaan latar belakang para pembeli senjata api.
Namun, sekitar 40 persen penjualan dilakukan oleh penjual-penjual swasta yang tidak terkena kewajiban tersebut.
Obama mengajukan permintaan tentang pemeriksaan catatan pembeli senjata setelah terjadinya tragedi penembakan di sekolah di Connecticut pada Desember lalu, yang menewaskan 20 anak-anak dan enam orang dewasa.
Kalangan Partai Republik di Komite Peradilan menentang rancangan undang-undang tersebut.
Mereka mengatakan bahwa penjualan senjata api pribadi antara para anggota keluarga dan teman-teman harus dibebaskan dari pemeriksaan latar belakang.
Mereka juga menentang persyaratan yang mengharuskan para penjual pribadi menyimpan catatan penjualan senjata api karena dikhawatirkan hal itu bisa mengarah kepada pemeriksaan senjata dan pada akhirnya penyitaan.
Senator Demokrat Charles Schumer dari New York, yang mensponsori RUU, menepis kekhawatiran tersebut dengan menyebutnya sebagai pandangan tidak berdasar.
Menurut dia, langkah-langkah melalui RUU akan bisa menurunkan kejahatan senjata api.
Komite Peradilan menyetujui rancangan undang-undang kedua dengan hasil pemungutan suara 14:4 bagi anggaran senilai 40 juta dolar (Rp387,7 miliar) setahun selama 10 tahun mendatang untuk meningkatkan pengamanan sekolah.
Pada Kamis, Komite diperkirakan akan menyetujui sebuah RUU yang didukung Presiden Obama untuk memperbarui larangan senjata penyerangan tipe militer.
Larangan itu berakhir tahun 2004 setelah diberlakukan selama 10 tahun.
RUU juga menghadapi kemungkinan hambatan prosedural, yang membutuhkan setidaknya 60 suara dukungan di Senat yang beranggotakan 100 orang itu.
Para anggota Senat dari kubu Republik dan bahkan sejumlah anggota Demokrat dari negara-negara bagian pedesaan -- di mana senjata api demikian populer-- menentang pelarangan tersebut.
Mereka berargumentasi bahwa larangan itu melanggar hak-hak yang dilindungi undang-undang dasar untuk warga negara memiliki senjata.
Adapun mereka yang mendukung larangan mengatakan mereka mengakui hak-hak kepemilikan senjata, namun bersikeras bahwa pemerintah bertanggung jawab melindungi warga negaranya dari resiko-resiko tidak semestinya.
Beberapa kejadian penembakan massal yang terjadi pada tahun-tahun belakangan ini, termasuk yang terjadi di Newtown, Connecticut, banyak melibatkan senjata penyerang semi-otomatis tipe militer.
Dengan 310 juta senjata api, Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang paling banyak memiliki senjata di dunia.
Menurut sebuah jajak pendapat yang dilakukan terhadap 1.504 orang dewasa oleh Pew Research Center dan hasilnya diumumkan hari Selasa, sebanyak 66 persen dari mereka yang tinggal dalam sebuah keluarga tanpa senjata api mengatakan bahwa peraturan hukum yang lebih tegas akan mengurangi kematian dalam penembakan massal.
Hanya 35 persen dari pemilik senjata api yang setuju akan pernyataan itu.
Sebanyak 24 persen mengatakan mereka memiliki senjata api dan 48 persen pemilik senjata api mengatakan mereka mereka mempersenjatai diri terutama untuk melindungi diri sendiri.
Adapun 32 persen mengatakan mereka memilih senjata terutama untuk keperluan berburu.
Angka-angka itu merupakan perubahan dibandingkan tahun 1999, yaitu ketika 49 persen responden mengatakan mereka memiliki senjata api kebanyakan untuk berburu, sementara 26 persen lainnya mengatakan senjata yang mereka miliki terutama adalah untuk melindungi diri, demikian Reuters.
(T008/C003)
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013