Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memandang urgensi keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan atau LPS untuk bisa masuk ke dalam instrumen koperasi supaya memberikan perlindungan kepada para penyimpan dana.

"LPS yang selama ini masuk ke dalam berbagai instrumen keuangan mikro, seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan sebagainya diupayakan masuk ke dalam sistem penjaminan di dalam koperasi simpan pinjam," kata Kepala Pusat Riset Koperasi, Korporasi, dan Ekonomi Kerakyatan BRIN Irwanda Wisnu Wardhana di Jakarta, Selasa.

Irwanda menuturkan pembentukan lembaga penjamin simpanan bagi koperasi simpan pinjam dapat mencegah terjadinya skandal penggelapan dana milik para anggota dan nasabah koperasi.

Selain dijamin oleh LPS, koperasi juga harus mendapat pengawasan dan mengikuti aturan-aturan keuangan yang sangat ketat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"Karena kalau tidak diawasi tetapi dijaminkan bisa terjadi lagi skandal-skandal berikutnya," kata Irwanda.

Skandal koperasi terbesar di dalam sejarah Indonesia adalah Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya Cipta karena merugikan anggotanya yang mencapai 23 ribu orang dengan nilai fantastis mencapai Rp106 triliun.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan bahwa koperasi itu melakukan penipuan menggunakan skema ponzi alias penipuan berkedok investasi dengan imbal hasil besar ke nasabah.

Irwanda mengatakan pengawasan dan penjaminan yang dilakukan negara tidak akan lagi menimbulkan skandal-skandal baru koperasi simpan pinjam di Indonesia.

"Itulah yang kemudian menjadi salah satu bagian dari proses penguatan modernisasi koperasi di Indonesia," ujarnya.

Saat ini BRIN bersama pemangku kepentingan lainnya menginginkan modernisasi koperasi agar koperasi dapat sesuai dengan niat para founding father terdahulu yang mencantumkan Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

"Koperasi adalah demokrasi di dalam model ekonomi karena berbasis gotong-royong, musyawarah, dan mufakat. Itulah yang menjadikan koperasi sebagai soko guru perekonomian," kata Irwanda.

Pemerintah saat ini sedang merevisi Undang-Undang Perkoperasian yang ditargetkan rampung pada Agustus 2023 mendatang.

Revisi Undang-Undangan Perkoperasian itu berfokus terhadap tiga hal, yaitu memperkuat pengawasan koperasi oleh pengawas eksternal, reformasi koperasi menjadi setara dengan perbankan yang mampu melindungi nasabahnya, dan memperluas lingkup bisnis koperasi menjadi lebih luas ke berbagai sektor.

Peneliti Ahli Utama Bidang Koperasi BRIN, Johnny Walker Situmorang mengatakan koperasi di luar negeri bergerak ke dalam bisnis yang beragam, seperti produksi, pertanian, maupun peternakan.

Bisnis koperasi yang luas membuat koperasi di negara-negara barat bisa berkembang dan besar. Bahkan, mereka bisa menguasai perekonomian dan keputusan politik karena lebih dari 60 persen penduduk ikut koperasi.

Johnny memandang jika Indonesia mampu memaksimalkan peran koperasi seperti Eropa dan Amerika, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih dari 7 persen dan dapat mewujudkan Indonesia Emas pada 2045.

"Sekarang 127 ribu koperasi dengan 24 juta anggota, setiap kabupaten/kota sekitar 300 unit koperasi, kalau ini bergerak maka ekonomi daerah bisa tumbuh," pungkasnya.

Baca juga: BRIN rumuskan model pemberdayaan relevan bagi pengungsi luar negeri

Baca juga: LPS gandeng MA samakan persepsi aturan baru UU P2SK

Baca juga: Pejabat MA usulkan koperasi jadi peserta program penjaminan LPS

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2023