Magelang (ANTARA News) - Karya dramawan Inggris, William Shakespeare (1564-1616), berjudul "A Midsummer Night`s Dream" diubah menjadi "Impen Sewengi ing Merapi" (Mimpi Semalam di Merapi) dalam pementasan teater anak-anak kawasan Gunung Merapi malam itu.
Sutradara dan penulis naskah dari Prancis, Catherine "Kati" Basset, mengarahkan sekitar 140 anak di kawasan barat Gunung Merapi mementaskan lakon berlatar belakang Yunani kuno itu selama sekira dua jam di Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" yang ada di Desa Sumber, Magelang, Jawa Tengah, sekitar delapan kilometer barat daya puncak Gunung Merapi.
Pemimpin padepokan, Sitras Anjilin, selain menjadi penata tari bersama Untung Pribadi-- pemimpin Sanggar Bangun Budaya Desa Sumber-- juga menjadi dalang dalam pertunjukan yang kental dengan kesenian tradisional Jawa seperti wayang orang, geguritan, tembang jawa, dan tarian rakyat.
Masyarakat setempat, para pecinta seni, dan tamu yang datang dari mancanegara memadati pendopo padepokan yang didirikan pada 1937 itu hingga pementasan berakhir pada Senin (11/3), sekitar setengah jam sebelum malam itu menyentuh pukul 24.00 WIB.
Sitras Anjilin memulai pementasan itu dengan goro-goro, menuturkan asal muasal penceritaan lakon "A Midsummer Night`s Dream" versi lokal Merapi dalam Bahasa Jawa.
"Bumi wus emoh mangan banyu, nanging langit nyiram bumi nganti banjir dadi goro-goro, jaman kalabendu. Jaman kuwalik, ana bocah nutuh wong tuwo, ana wong tuwa takon bocah, akeh guru ider ngelmu, akeh wong duraka kudhung agama. Jroning goro-goro negara ora tentrem, para pimpinan negara wis ilang rasa welas asih sahingga pada tumindak murang tata, gawe rugi bangsa, korupsi dadi budaya, manungsa wis ora bisa bangga."
(Bumi menolak air, tapi hujan terus menerus turun hingga terjadi bencana banjir. Zaman sudah terbalik, ada anak berani kepada orang tua, orang tua bertanya kepada anak, banyak guru menjual ilmu, pendosa berkerudung agama. Negara tidak tenteram, para pemimpin negara kehilangan belas kasih sehingga bertindak melanggar aturan, menyebabkan penderitaan bangsa, korupsi menjadi budaya. Manusia sudah tidak patuh).
Karya Shakespeare dalam pementasan itu antara lain menceritakan tentang pernikahan Raja Athena, Theseus (Herlambang Sulistianto) dengan Ratu Amazon, Hipolyta (Gallant).
Adegan awal dimulai dengan kisah perjodohan antara Hermia (Sukma Ayu Sadewi) dengan Demetrius (Rahman Rifqi Fauzi).
Perjodohan yang diprakarsai ayah Hermia, Edjeus (Melco Sofik Lawa Leonard) itu ditolak sang putri itu karena dia ingin menikah dengan pria lain, Lysander (Muhson Isroni).
Babak lainnya bercerita tentang tokoh dari dunia raksasa, Oberon (Ibnu Sadewo) dengan Titania (Nofian Rizka Rahmawati).
Iringan musik tradisional seperti gamelan dan musik serupa orkestra, dan beberapa tarian tradisional seperti tari topeng ireng, kuda lumping, angguk rame, dayak grasak, dan reog, mewarnai pementasan di kawasan berudara sejuk di tepian alur Kali Senowo yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi itu.
Kati yang mengajar seni, kosmologi, dan ritus Asia Tenggara serta budaya Jawa di Institut National des Langues et Civilisations Orientales (Inalco) Prancis mengakui lakon tersebut cukup rumit.
"Lakon Shakespeare itu antara lain mengenai kenyataan, godaan, mimpi, teater, ilusi dan sebagainya yang sangat-sangat rumit. Maka kalau sebelumnya tidak mengerti, itu normal. Rumit ceritanya karena paralel," katanya.
Kati, yang sejak awal Februari hingga pertengahan Maret 2013 tinggal di Desa Sumber, mengatakan lakon itu menunjukkan kesamaan nilai antara Barat dan Timur, yang tidak begitu jauh pada zaman dahulu.
Lakon tersebut mengaitkan antara alam semesta dengan alam manusia, tentang bagaimana manusia hidup di alam.
"Ada tokoh-tokoh dari dunia niskala, ada bidadari dan buta datang dari India, ada pemuda bulan, yang dulu dikenal di sini (Merapi). Mengenai yang maya dan apa yang nyata, godaan, asmara, remaja yang kena asmara, cinta palsu, mitos, ego," katanya.
"Ada juga tokoh dengan situasi remaja dalam masyarakat tradisional, dengan orang tua yang mau menikahkan mereka dan mereka tidak setuju," kata Kati, yang juga anggota lepas Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS) Prancis.
Kati menyatakan, pementasan lakon tersebut oleh anak Merapi menjadi bermakna melalui pendekatan tradisi setempat yang juga menjadi kebanggaan personalnya.
"Kalau sekarang ada beda antara Barat dengan Timur, karena perkembangan budaya, akal manusia. Kati mengusahakan teater Shakespeare ini dipadu dengan kesenian Jawa di Merapi. Kesenian rakyat Jawa mendukung pementasan cerita ini," kata Sitras.
Sebagian besar pementas "A Midsummer Night`s Dream" yang ditulis Shakespeare pada 1590-1596 itu adalah para siswa SMA Negeri I Dukun, tempat Sitras Anjilin dan Bambang Tri Santoso mengampu pelajaran ekstrakurikuler tari dan karawitan.
Ketidaksempurnaan anak-anak Merapi dalam mementaskan drama "A Midsummer Night`s Dream" cukup kentara di berbagai adegan, dalam dialog maupun gerak tari.
"Pementasan ini memang bukan hasil yang sudah matang karena prosesnya singkat, apalagi mereka anak-anak sekolah, kalau kurang menarik tentu karena kurang pengalaman," kaya Sitras.
"Tentu beda kalau pementasan oleh seniman profesional. Semoga bisa dimengerti," kata Sitras yang juga salah satu pemimpin seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, Menoreh).
Ikhwal yang nampak lebih penting adalah anak-anak setempat mendapat pengalaman berproses kesenian melalui karya besar sastrawan Barat yang sarat nilai, makna, dan filosofi yang disuguhkan bersama kearifan masyarakat gunung.
Kalau anak-anak Merapi menyentuh karya Shakespeare dengan budaya lokal mereka, boleh jadi mereka sedang membuktikan penguatan jaring-jaring kebudayaan.
Oleh M. Hari Atmoko
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013