Jakarta (ANTARA) - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI tengah menyiapkan bauran kebijakan pada Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) guna mengurangi kebergantungan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pembiayaan akibat kerugian bencana alam.

Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu RI Yogi Rahmayanti mengatakan, dengan mempertimbangankan seluruh lapisan risiko yang ada, pemerintah akan menentukan risiko-risiko mana yang pembiayaannya ditanggung sendiri (retain), pembiayaan risiko yang ditransfer serta bagaimana memilih instrumen yang sesuai dan efisien.

“Mungkin beberapa sifat karakteristik yang mau kita implementasikan di dalam PARB ini, bahwa sifatnya kita akan ada policy mix ya, atau bauran kebijakan. Yang sebelumnya mungkin lebih ke belanja, nah ke depan itu bisa belanja, bisa juga dengan premi asuransi dan sebagainya,” kata Yogi dalam seminar Kemenkeu yang bertajuk "Disaster Risk Financing & Insurance and Adaptive Social Protection Implementation in Indonesia" di Yogyakarta, Senin.

Ia menjelaskan bahwa bauran kebijakan PARB bersifat proaktif dan ditargetkan untuk jangka panjang hingga tahun 2050.

“Nah juga pendanaan ini bersifat proaktif ya, tidak hanya reaktif waktu terjadi bencana kita baru mengambil tindakan, tetapi kita sudah bisa dari awal itu memperhitungkan risiko-risiko. Jadi sifatnya proaktif,” ujarnya.

Lebih lanjut, Yogi memaparkan transformasi pada kebijakan PARB juga ditunjukkan dengan adanya penerapan beberapa prinsip dalam strategi PARB.

Pertama, ketepan waktu dan besaran dana yang menunjukkan kecepatan dalam penyediaan pembiayaan merupakan aspek yang paling penting. Seluruh dana harus tersedia sesuai dengan fase bencana.

Kedua, ketepatan penyaluran dana yang mana penyaluran dana dilakukan secara tepat sasaran melalui saluran yang efisien. Dalam hal ini, kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, serta pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya sangat diperlukan.

Ketiga, data dan informasi yang akurat. Strategi PARB harus mendorong pengumpulan dan penyediaan data dan informasi yang akurat tentang sejarah dan potensi bencana (hazard), kerentanan (eksposure), dan dampak kerugian (loss). Nantinya, data tersebut akan membantu dalam pemilihan instrumen yang tepat dan efisien.

Pada kesempatan yang sama, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Parjiono juga menyampaikan pentingnya penyusunan strategi PARB yang lebih efektif mengingat Indonesia merupakan negara yang rentan terdampak bencana alam yang dapat merugikan secara sosial maupun fiskal.

"Kami mengajak para peserta untuk dapat aktif berdiskusi dan menyampaikan pembelajaran penting terkait upaya pembangunan resiliensi mengingat Asia Tenggara termasuk daerah paling rawan bencana di dunia," kata Parjiono.

Hal itu ia sampaikan dalam seminar yang digelar oleh Kementerian Keuangan RI untuk mendiskusikan implementasi strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana bersama delegasi negara anggota ASEAN di Yogyakarta pada Senin.

Seminar yang bertajuk "Disaster Risk Financing and Insurance and Adaptive Social Protection Implementation in Indonesia" itu merupakan acara sampingan atau "side event" Pertemuan Menteri Keuangan (Menkeu) dan Gubernur Bank Sentral ASEAN.


Baca juga: Kemenkeu diskusikan pembiayaan risiko bencana bersama delegasi ASEAN

 

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Nurul Aulia Badar
Copyright © ANTARA 2023